Dea Mustika
Kelas 9I
Tacenda
Sumber gambar: https://www.wallpaperbetter.com/id/hd-wallpaper-zzaai
Suatu malam di musim dingin. Arthemis pergi ke ujung danau yang membeku untuk mencari rasa tenang. Arthemis berjongkok, mengetuk danau yang beku di depannya. Ia merasakan danau itu lebih beku dari tahun sebelumnya.
Arthemis mengembuskan napas. Ia duduk di bangku dekat danau itu, membiarkan tubuhnya merasakan udara dingin yang menusuk. Danau itu terbentang luas. Saat musim semi, pemandangan akan terlihat indah karena bunga-bunga yang mekar. Namun hari ini, semuanya dipenuhi salju.
Arthemis menatap ke arah danau. Terlihat seseorang di depan sana. Dahi Arthemis mengernyit, memastikan bahwa yang ia lihat memang manusia.
Orang itu memakai sepatu skating, maju tanpa beban. Ia bergerak dengan cepat di atas es yang membeku. Untuk sekilas, ia terlihat bebas. Namun, waktu sudah hampir tengah malam. Untuk apa dia melakukan itu? Arthemis meringis. Untuk kali ini, ia menganggap itu hantu.
Arthemis akhirnya memutuskan untuk pulang. Setibanya di rumah, ia membuka pintu dengan pelan. Lagi-lagi Arthemis mendengar orang tuanya bertengkar lagi. Dengan rasa lelah, Arthemis mengendap-endap. Untuk sepersekian detik, ia menahan langkahnya tatkala mendengar pecahan kaca.
Arthemis tertegun, bingung harus mengambil keputusan apa. Ia kemudian melanjutkan langkahnya untuk kembali ke kamar. Terkadang Ia membenci ibunya yang terus-terus memprovokasi ayah hanya karena masalah kecil. Namun, mereka berdua sama saja.
Arthemis menutup pintu kamar, memutuskan untuk tidur.
***
Hari berganti. Ibu tiba-tiba melaporkan ayah dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga. Polisi menangkap ayah.
Di bawah temaramnya lampu, Arthemis melihat Ibu menyeret koper-koper yang berisi barang-barang.
“Ibu mau ke mana?” tanya Arthemis.
“Kamu diam di rumah. Ibu akan meninggalkan salah satu kartu kredit Ibu. Kamu gunakan uang itu untuk melanjutkan hidup. Ibu akan mencari pekerjaan di luar kota,” jawab ibu.
Arthemis tak berani berbicara lagi. Ia menatap Ibunya pergi, meninggalkan segalanya. Ia tak meninggalkan satu dekapan maupun lambaian tangan. Hati Arthemis teriris. Tanpa sadar ia menangis, menangisi hidupnya.
Ke mana aku harus pergi selanjutnya? Batin Arthemis. Bahkan, kedua cahaya yang harusnya menjadi penuntun arah agar tidak tersesat, kini telah padam. Mereka padam bersamaan.
Arthemis melihat jam dinding. Hampir jam delapan. Ia sudah menggunakan seragam. Diambilnya tas, kemudian dikuncinya pintu. Dalam perjalanan, ia mencoba menahan tangis.
Jangan terlihat seperti bayi cengeng yang baru ditinggal ibunya. Batin Arthemis.
Ia melewati hari dengan penuh rasa sesak. Sepulang sekolah, ia langsung masuk ke kamar dan menjatuhkan diri di atas ranjang. Ia menangis, membiarkan semuanya terluapkan. Kemudian, ia tertidur.
***
Arthemis terbangun di malam hari. Ia ingat bahwa ia belum makan sejak pagi. Ia membuka handphone, membaca chat dari ibunya yang masuk tadi sore.
Arthemis membalas dengan ucapan terima kasih. Ia memutuskan keluar untuk mencari makanan.
Ia masih merasakan dingin yang menusuk saat ia keluar rumah. Arthemis membenci musim dingin. Selama perjalanan, pikirannya berkecamuk. Ia menangisi hidupnya. Ia hampir tidak punya teman. Kedua orang tuanya meninggalkannya. Saudaranya entah di mana. Kepada siapa ia harus bersandar?
Arthemis masuk ke dalam sebuah toko penjual sup. Ia membeli sup jamur untuk menghangatkan diri.
Di balik salju yang perlahan turun, ia melihat orang yang waktu itu ia lihat di danau. Arthemis memperhatikan orang itu dan menatapnya lekat.
“Ternyata dia bukan hantu.” Arthemis terlihat lega.
Pesanannya datang. Ia makan dengan perasaan yang membaik. Dirasakan hangatnya sup yang dicampur dengan roti.
Tak lama kemudian, seseorang terlihat duduk di depannya. Arthemis mengeluh dalam hati, merasa sedikit terganggu. Namun ia tidak bisa menegur. Ini kan bukan toko miliknya.
Arthemis mengangkat pandangan, menatap ke arah orang yang duduk di depan. Ia hampir tersedak tatkala melihat bahwa itu adalah orang yang sempat dia sebut hantu.
Orang itu menatap balik Arthemis, mengernyit melihat reaksi Arthemis. Toko itu sudah tidak ada bangku kosong, sehingga pelayan menyuruhnya untuk duduk bersama perempuan yang kini berada di depannya.
“Hai..?” sapanya canggung.
Arthemis mencoba menetralkan reaksinya. Dalam hati ia bepikir bahwa kota ini sungguh sempit.
“Hai,” balas Arthemis dengan pelan.
Pria itu tak membalas kembali, membuat Arthemis kembali fokus untuk makan. Ia memesan dessert karena masih merasa lapar. Ia mengabaikan pria di depannya.
“Aku tak suka makanan manis,” ujarnya.
Arthemis menatapnya.
“Kayaknya ini low sugar deh,” ucap Arthemis.
“Kamu bawa saja.”
Arthemis menggelengkan kepala. “Ini hadiah untuk dua orang.”
“Lalu?” tanyanya.
“Aku tidak akan membawanya kecuali dibagi dua. Setelah itu, kamu bebas mau membuangnya atau bagaimana pun.”
Ada rasa tak nyaman yang menjalar dalam hati Arthemis. Ia melihat pria itu menghela napas, kemudian memotong kue itu seukuran dengan cheesecake milik Arthemis. Ia memakan potongan itu hanya untuk tiga suapan. Lalu menggeserkan sisanya ke arah Arthemis.
“Orang aneh,” pikir Arthemis.
Arthemis memakan cheesecake-nya, kemudian meminta kemasan untuk membungkus kue stroberi.
Ia berterimakasih kepada pria itu. Kemudian, ia memutuskan keluar dari toko.
Arthemis mengakhiri hari itu dengan tertidur pulas karena merasa lelah.
***
(To be continued)