Ulfa Renita
Kelas 8J
Kota Bewto
Orang selalu
berkata bahwa hidup seperti roda yang terus berputar. Akan tetapi, mengapa
hidupku selalu berada di bawah? Hidupku sangat miris, hidup tanpa orang tua. Di
saat remaja lain menikmati indahnya dunia, aku harus bekerja untuk memenuhi isi
perutku dan adikku.
Saat masih kecil, aku melihat sebuah pertunjukan yang sangat
menakjubkan. Di pertunjukan itu, aku melihat seorang penyanyi. Ia mempunyai
paras yang cantik dan menawan. Suaranya mengalun indah. Ia adalah Hana. Saat
pertama kali aku melihat Hana, aku berpikir, apakah aku bisa menjadi
sepertinya? Ah, itu tidak mungkin. Hana terlahir di keluarga kaya raya dan
terhormat. Berbanding terbalik denganku yang bahkan tidak mempunyai orang tua.
Saat aku sedang mencari makanan untuk makan siang, aku melihat
sesuatu. Aku melihat secarik kertas yang menempel di dinding pemukiman warga.
Aku membacanya, mataku membesar. Kertas itu berisi informasi audisi menyanyi
yang ada di Kota Bewto. Jika berhasil lolos dari audisi ini, pemenang akan
diangkat menjadi penyanyi bersama Hana. Aku tidak bisa melewatkannya begitu
saja. Aku langsung berlari menghampiri Deni yang sedang memakan roti sisa.
"Kita harus cepat ke Kota Bewto, Deni!" ucapku dengan
nafas yang tersengal-sengal.
"Kota Bewto sangat jauh, Kak! Untuk apa kita ke sana?"
jawab Deni kebingungan. Ia hampir saja tersedak.
"Bagaimanapun caranya, kita harus ke Kota Bewto secepatnya. Di sana
terdapat audisi. Kita harus mengikutinya untuk memperbaiki keadaan kita."
Aku menatap Deni tajam.
"Baiklah, apapun itu, aku ingin kita kembali seperti dulu
lagi," ucap Deni sembari menunduk, mengingat semua memori kebahagiaan kami
dulu.
Aku dan Deni berpikir bagaimana caranya kami
menuju Kota Bewto. Jika berjalan kaki, butuh waktu yang sangat lama untuk
sampai ke Kota Bewto. Selain itu, kami tidak mempunyai kendaraan yang dapat digunakan
untuk ke kota Bewto. Padahal, audisi akan diadakan besok pagi. Karena terlalu
lelah dan tidak mendapatkan jawaban, aku mengajak Deni ke sungai untuk menjernihkan
pikiran.
Aku dan Deni berjalan menyusuri sungai. Kami hanya terdiam tenggelam
dalam pikiran masing-masing. Hingga kemudian, selarik cahaya menyinari
penglihatanku dan Deni.
"Halo, anak-anak. Aku peri Allura. Kalian pasti sudah tidak
asing dengan namaku, bukan? Keberadaanku bukan hanya dongeng semata." Terlihat
seorang peri dengan memakai gaun merah muda. Ia sembari terkekeh pelan. Aku
terpukau, tidak bisa menjawab pernyataan yang barusan telah dilontarkan oleh
peri Allura.
"Aku bisa mengabulkan satu permintaan kalian," sambungnya
kembali.
"Deni ingin mempunyai ayah dan ibu!" ucap Deni antusias.
Aku terkejut dengan ucapan Deni barusan.
"Tidak! Ingat, kita harus ke Kota Bewto, Deni!" Aku
menatap Deni tajam.
"Aku hanya bisa mengabulkan satu permintaan kalian." Suara
peri Allura kembali terdengar.
"Permintaanku, antar kami pergi ke Kota Bewto," ucapku.
Deni menatapku tak percaya, seolah tidak menyangka aku akan lebih memilih untuk
mengikuti audisi dibandingkan memiliki suatu keluarga yang lengkap. Deni
berlari menjauhiku dan peri Allura.
Peri Allura lalu menggoyang-goyangkan tongkat sihirnya. Sebuah
cahaya bersinar kembali. Peri Allura sudah tak tampak kembali. Melainkan ada
sebuah tikus raksasa di hadapanku.
"Ayo naik," ucap tikus raksasa itu.
Tanpa menunggu Deni, aku langsung menaiki tikus tersebut. Tak apa,
Deni jika marah tak akan lama. Lagi pula, aku mengikuti audisi hanya 1 hari.
Saat sudah sampai di Kota Bewto, aku melihat sebuah tempat yang
sudah dihiasi benda warna-warni. Aku pun langsung mendaftarkan diri untuk
mengikuti audisi.
Sesudah mendaftarkan diri, aku termenung menunggu giliran. Aku
merasa, bahwa aku sangat jahat telah meninggalkan Deni di Desa Pinus sendirian.
Aku sangat jahat telah meninggalkan Deni hanya untuk kepuasan sendiri. Aku
sangat menyesal, aku di sini tentu saja tidak karuan. Tak ada Deni, adik yang ceria
yang suka menyemangati dan memotivasiku saat aku merasa takut, kecewa, dan tak
tahu arah. Sekarang, Deni tak ada. Tak ada yang menyemangati, memotivasi dan
menghibur. Aku di sini sendiri, memakai baju lusuh, melihat peserta lain
memakai gaun tanpa hadirnya penyemangat.
Acara yang dinanti-nanti pun tiba. Audisi diadakan sangat meriah.
Aku melihat banyak sekali peserta yang bernyanyi dengan merdu. Nyaliku ciut. Aku
merasa bahwa aku bukanlah apa-apa dibandingkan mereka.
Giliranku tiba. Aku bernyanyi
sebaik mungkin. Namun jujur, aku tak bisa sepenuhnya fokus. Pikiranku masih
tertuju pada Deni. Semoga Deni tak apa-apa.
Semua peserta sudah tampil. Kami menunggu pengumuman juri dengan
resah.
"Selamat siang semua!" Hana menyapa semua peserta audisi.
"Saya akan mengumumkan para pemenang dari audisi ini,"
lanjut Hana dengan suaranya yang lembut. Ia kemudian menyebutkan pemenang
ketiga dan kedua. Terakhir, ia menyebutkan pemenang utama.
"Pemenang utama ialah...Dena Dewani dari Desa Pinus! Beri tepuk
tangan untuk Dena!"
Aku terkejut. Aku sangat tidak percaya aku dapat lolos dari audisi
ini. Aku hanya diam dan menangis bahagia. Aku segera ke panggung dan
mengutarakan kebahagiaanku karena telah menang dalam audisi ini.
Setelah memenangkan audisi, hidupku berubah total, dari mulai
berpakaian, pola hidup, dan cara berinteraksi dengan orang lain. Tetapi, rasa
sayang pada Deni tak berubah. Aku sangat sangat menyesal mengikuti audisi ini.
Nyatanya, Deni belum ditemukan sampai sekarang. Berbagai cara sudah kulakukan:
berkeliling ke berbagai tempat dan memasang poster-poster untuk menemukan Deni.
Tapi tetap saja Deni tidak ditemukan. Aku pasrah. Aku menyakinkan diri bahwa
ini memang takdir Tuhan. Mungkin saja, Deni berbahagia di tempatnya sekarang dan
melupakan sosok kakak sepertiku. Tidak, aku tidak layak dipanggil kakak setelah
perlakuanku padanya.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Aku
sudah merelakan Deni. Kini, aku menjadi penyanyi terkenal. Setiap hari aku
mendapat undangan untuk menyanyi. Tak sedikit yang kutolak. Menjadi penyanyi
itu tidak mudah. Selain lelah, menjadi penyanyi selalu dibicarakan di mana-mana.
Aku mendatangi tempat-tempat di mana aku diundang untuk menyanyi. Contohnya
hari ini, aku diundang ke Desa Pinus, kampung halamanku. Desa ini menyimpan
banyak kisah aku dan Deni.
Aku menjalankan pesta semeriah dan selancar mungkin. Di
tengah-tengah acara, aku dipanggil ke panggung untuk berpidato. Aku tentu saja
kebingungan. Aku tak menyiapkan teks untuk berpidato. Tapi karena sudah
dipanggil, aku maju dan menceritakan kisahku untuk memotivasi semua orang.
Tiba-tiba, suara petasan menyala. Terlihat bayangan seseorang di
belakangku. Bayangan itu terlihat semakin jelas. Ternyata, ia adalah Deni. Aku berhambur
menghampiri dan memeluknya dengan erat. Kami menangis antara sedih dan bahagia.
Aku gembira bahwa Deni baik-baik saja. Deni tumbuh menjadi pria yang
tampan. Aku sangat tidak menyangka akan bertemu lagi dengannya. Ini berkat
semua penggemarku. Seluruh penggemar mencari-cari tentang keberadaan Deni dan
memberi kejutan ini untukku.
Acara pun selesai. Aku mengajak Deni untuk berbincang-bincang. Aku
menanyakan keberadaannya selama ini dan bagaimana hidupnya saat tak ada aku. Ia
pun menceritakan perjalanan hidupnya.
"Den, hidup kakak sekarang sudah lebih baik. Tinggallah bersama
kakak.” Aku memohon pada Deni. Deni hanya terdiam. Sepertinya ia memikirkan
jawaban terbaik yang akan dilontarkan. Aku menunggu cemas.
"Maaf, Kak," ucap Deni akhirnya.
Deg. Jantungku terasa berhenti berdetak.
"Di panti, aku mempunyai teman yang menyayangiku, termasuk ibu
panti. Ibu panti mengajariku banyak hal. Aku tak bisa meninggalkan beliau
begitu saja. Maafkan aku. Aku tidak bisa tinggal bersama kakak lagi,” ujar
Deni.
Aku tak bisa menjawab perkataan Deni. Hatiku sangat sedih. Aku
menangis sejadi-jadinya. Tapi, mau bagaimana lagi? Deni lebih bahagia tinggal
di panti asuhan tanpa kakak sepertiku. Dan itu lebih baik baginya.***
0 comments:
Post a Comment