07 December 2022

Kota Bewto

Edit Posted by with No comments

 Ulfa Renita

Kelas 8J

Kota Bewto

Orang selalu berkata bahwa hidup seperti roda yang terus berputar. Akan tetapi, mengapa hidupku selalu berada di bawah? Hidupku sangat miris, hidup tanpa orang tua. Di saat remaja lain menikmati indahnya dunia, aku harus bekerja untuk memenuhi isi perutku dan adikku.

Saat masih kecil, aku melihat sebuah pertunjukan yang sangat menakjubkan. Di pertunjukan itu, aku melihat seorang penyanyi. Ia mempunyai paras yang cantik dan menawan. Suaranya mengalun indah. Ia adalah Hana. Saat pertama kali aku melihat Hana, aku berpikir, apakah aku bisa menjadi sepertinya? Ah, itu tidak mungkin. Hana terlahir di keluarga kaya raya dan terhormat. Berbanding terbalik denganku yang bahkan tidak mempunyai orang tua.

Saat aku sedang mencari makanan untuk makan siang, aku melihat sesuatu. Aku melihat secarik kertas yang menempel di dinding pemukiman warga. Aku membacanya, mataku membesar. Kertas itu berisi informasi audisi menyanyi yang ada di Kota Bewto. Jika berhasil lolos dari audisi ini, pemenang akan diangkat menjadi penyanyi bersama Hana. Aku tidak bisa melewatkannya begitu saja. Aku langsung berlari menghampiri Deni yang sedang memakan roti sisa.

"Kita harus cepat ke Kota Bewto, Deni!" ucapku dengan nafas yang tersengal-sengal.

"Kota Bewto sangat jauh, Kak! Untuk apa kita ke sana?" jawab Deni kebingungan. Ia hampir saja tersedak.

"Bagaimanapun caranya, kita harus ke Kota Bewto secepatnya. Di sana terdapat audisi. Kita harus mengikutinya untuk memperbaiki keadaan kita." Aku menatap Deni tajam.

"Baiklah, apapun itu, aku ingin kita kembali seperti dulu lagi," ucap Deni sembari menunduk, mengingat semua memori kebahagiaan kami dulu.

Aku dan Deni berpikir bagaimana caranya kami menuju Kota Bewto. Jika berjalan kaki, butuh waktu yang sangat lama untuk sampai ke Kota Bewto. Selain itu, kami tidak mempunyai kendaraan yang dapat digunakan untuk ke kota Bewto. Padahal, audisi akan diadakan besok pagi. Karena terlalu lelah dan tidak mendapatkan jawaban, aku mengajak Deni ke sungai untuk menjernihkan pikiran.

Aku dan Deni berjalan menyusuri sungai. Kami hanya terdiam tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hingga kemudian, selarik cahaya menyinari penglihatanku dan Deni.

"Halo, anak-anak. Aku peri Allura. Kalian pasti sudah tidak asing dengan namaku, bukan? Keberadaanku bukan hanya dongeng semata." Terlihat seorang peri dengan memakai gaun merah muda. Ia sembari terkekeh pelan. Aku terpukau, tidak bisa menjawab pernyataan yang barusan telah dilontarkan oleh peri Allura.

"Aku bisa mengabulkan satu permintaan kalian," sambungnya kembali.

"Deni ingin mempunyai ayah dan ibu!" ucap Deni antusias. Aku terkejut dengan ucapan Deni barusan.

"Tidak! Ingat, kita harus ke Kota Bewto, Deni!" Aku menatap Deni tajam.

"Aku hanya bisa mengabulkan satu permintaan kalian." Suara peri Allura kembali terdengar.

"Permintaanku, antar kami pergi ke Kota Bewto," ucapku. Deni menatapku tak percaya, seolah tidak menyangka aku akan lebih memilih untuk mengikuti audisi dibandingkan memiliki suatu keluarga yang lengkap. Deni berlari menjauhiku dan peri Allura.

Peri Allura lalu menggoyang-goyangkan tongkat sihirnya. Sebuah cahaya bersinar kembali. Peri Allura sudah tak tampak kembali. Melainkan ada sebuah tikus raksasa di hadapanku.

"Ayo naik," ucap tikus raksasa itu.

Tanpa menunggu Deni, aku langsung menaiki tikus tersebut. Tak apa, Deni jika marah tak akan lama. Lagi pula, aku mengikuti audisi hanya 1 hari.

Saat sudah sampai di Kota Bewto, aku melihat sebuah tempat yang sudah dihiasi benda warna-warni. Aku pun langsung mendaftarkan diri untuk mengikuti audisi.

Sesudah mendaftarkan diri, aku termenung menunggu giliran. Aku merasa, bahwa aku sangat jahat telah meninggalkan Deni di Desa Pinus sendirian. Aku sangat jahat telah meninggalkan Deni hanya untuk kepuasan sendiri. Aku sangat menyesal, aku di sini tentu saja tidak karuan. Tak ada Deni, adik yang ceria yang suka menyemangati dan memotivasiku saat aku merasa takut, kecewa, dan tak tahu arah. Sekarang, Deni tak ada. Tak ada yang menyemangati, memotivasi dan menghibur. Aku di sini sendiri, memakai baju lusuh, melihat peserta lain memakai gaun tanpa hadirnya penyemangat. 

Acara yang dinanti-nanti pun tiba. Audisi diadakan sangat meriah. Aku melihat banyak sekali peserta yang bernyanyi dengan merdu. Nyaliku ciut. Aku merasa bahwa aku bukanlah apa-apa dibandingkan mereka.

Giliranku  tiba. Aku bernyanyi sebaik mungkin. Namun jujur, aku tak bisa sepenuhnya fokus. Pikiranku masih tertuju pada Deni. Semoga Deni tak apa-apa.

Semua peserta sudah tampil. Kami menunggu pengumuman juri dengan resah.

"Selamat siang semua!" Hana menyapa semua peserta audisi.

"Saya akan mengumumkan para pemenang dari audisi ini," lanjut Hana dengan suaranya yang lembut. Ia kemudian menyebutkan pemenang ketiga dan kedua. Terakhir, ia menyebutkan pemenang utama.

"Pemenang utama ialah...Dena Dewani dari Desa Pinus! Beri tepuk tangan untuk Dena!"

Aku terkejut. Aku sangat tidak percaya aku dapat lolos dari audisi ini. Aku hanya diam dan menangis bahagia. Aku segera ke panggung dan mengutarakan kebahagiaanku karena telah menang dalam audisi ini.

Setelah memenangkan audisi, hidupku berubah total, dari mulai berpakaian, pola hidup, dan cara berinteraksi dengan orang lain. Tetapi, rasa sayang pada Deni tak berubah. Aku sangat sangat menyesal mengikuti audisi ini. Nyatanya, Deni belum ditemukan sampai sekarang. Berbagai cara sudah kulakukan: berkeliling ke berbagai tempat dan memasang poster-poster untuk menemukan Deni. Tapi tetap saja Deni tidak ditemukan. Aku pasrah. Aku menyakinkan diri bahwa ini memang takdir Tuhan. Mungkin saja, Deni berbahagia di tempatnya sekarang dan melupakan sosok kakak sepertiku. Tidak, aku tidak layak dipanggil kakak setelah perlakuanku padanya.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Aku sudah merelakan Deni. Kini, aku menjadi penyanyi terkenal. Setiap hari aku mendapat undangan untuk menyanyi. Tak sedikit yang kutolak. Menjadi penyanyi itu tidak mudah. Selain lelah, menjadi penyanyi selalu dibicarakan di mana-mana. Aku mendatangi tempat-tempat di mana aku diundang untuk menyanyi. Contohnya hari ini, aku diundang ke Desa Pinus, kampung halamanku. Desa ini menyimpan banyak kisah aku dan Deni.

Aku menjalankan pesta semeriah dan selancar mungkin. Di tengah-tengah acara, aku dipanggil ke panggung untuk berpidato. Aku tentu saja kebingungan. Aku tak menyiapkan teks untuk berpidato. Tapi karena sudah dipanggil, aku maju dan menceritakan kisahku untuk memotivasi semua orang.

Tiba-tiba, suara petasan menyala. Terlihat bayangan seseorang di belakangku. Bayangan itu terlihat semakin jelas. Ternyata, ia adalah Deni. Aku berhambur menghampiri dan memeluknya dengan erat. Kami menangis antara sedih dan bahagia.

Aku gembira bahwa Deni baik-baik saja. Deni tumbuh menjadi pria yang tampan. Aku sangat tidak menyangka akan bertemu lagi dengannya. Ini berkat semua penggemarku. Seluruh penggemar mencari-cari tentang keberadaan Deni dan memberi kejutan ini untukku.

Acara pun selesai. Aku mengajak Deni untuk berbincang-bincang. Aku menanyakan keberadaannya selama ini dan bagaimana hidupnya saat tak ada aku. Ia pun  menceritakan perjalanan hidupnya.

"Den, hidup kakak sekarang sudah lebih baik. Tinggallah bersama kakak.” Aku memohon pada Deni. Deni hanya terdiam. Sepertinya ia memikirkan jawaban terbaik yang akan dilontarkan. Aku menunggu cemas.

"Maaf, Kak," ucap Deni akhirnya.

Deg. Jantungku terasa berhenti berdetak.

"Di panti, aku mempunyai teman yang menyayangiku, termasuk ibu panti. Ibu panti mengajariku banyak hal. Aku tak bisa meninggalkan beliau begitu saja. Maafkan aku. Aku tidak bisa tinggal bersama kakak lagi,” ujar Deni.

Aku tak bisa menjawab perkataan Deni. Hatiku sangat sedih. Aku menangis sejadi-jadinya. Tapi, mau bagaimana lagi? Deni lebih bahagia tinggal di panti asuhan tanpa kakak sepertiku. Dan itu lebih baik baginya.***

0 comments:

Post a Comment