Ulfa Renita
9G
Menjalani hidup memang tidaklah mudah. Namun, bukan berarti tidak ada kebahagiaan. Namaku Adit. Aku adalah seorang anak laki-laki yang selalu berusaha untuk mencari sebuah kebahagiaan. Sedari kecil, aku diasuh oleh pamanku. Aku tidak tahu mengenai kedua orang tuaku. Setiap kali aku bertanya, pasti paman hanya berkata, “Belum waktunya kamu tahu.”
Paman bukan orang yang dilimpahi oleh harta namun dia selalu
berusaha untuk dapat membiayaiku dari bayi sampai sekarang. Aku sebentar lagi
akan lulus dari SMA. Maka dari itu, aku selalu belajar keras agar bisa
mendapatkan pekerjaan yang bisa membantu ekonomi paman.
Hari ini, aku diajak paman untuk membersihkan Gudang. Sudah
bertahun-tahun lamanya tempat itu tidak dibersihkan. Saat sedang membereskan
kotak-kotak, aku tertuju pada kotak berwarna hitam yang terbuat dari kayu. Saat
kubuka, isinya terdapat foto diriku saat masih bayi dan seorang wanita bersama
paman. Keringat mulai bercucuran. Wanita ini adalah wanita yang sering
menghantuiku. Sedari aku kecil, wanita ini selalu mengikutiku kemana-mana. Dia
tidak memang tidak mengganggu. Dia hanya seperti memperhatikanku dari kejauhan.
Rasa penasaran mulai menggelitik. Wanita ini siapa? Mengapa wanita ini sangat
mirip dengan wanita yang ada di foto dengan paman?
“Dit, udah lihat-lihatnya. Sekarang kamu beresin kamar
kamu aja. Gudang ini biar sama paman,” suara paman Budi mengejutkanku. Dengan
tergesa-gesa aku menuju kamarku.
Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Aku sangat
sulit untuk terlelap. Aku masih memikirkan foto yang kutemukan di gudang tadi.
Apakah itu istri paman? Jika itu istri paman, mengapa sekarang tidak bersama
paman? Aku sangat menyesal tidak bertanya pada paman tadi. Tapi paman tidak
akan memberitahuku. Paman adalah orang yang sangat tertutup. Tapi seiring
perkembangan usiaku yang semakin besar, semakin besar pula rasa ingin tahu tentang
kehidupanku dan juga paman. Terlebih wanita itu terlihat sedang duduk di atas
lemari sambil tersenyum. Ahh sudahlah. Ini sangat membuat stres. Aku perlahan
memejamkan mataku, dan....
Aku terbangun di rumah besar namun sedikit terlihat tua, sendirian. Ini seperti rumah paman, tetapi dengan furnitur yang berbeda. Aku merasa sekujur tubuhku kaku. Aku mulai ketakutan. Apakah aku diculik? Tapi tadi aku tertidur di kamarku.
“Rin! Kamu pilih dia daripada aku?!”
“Hiks, Mas….”
Suara tersebut seolah menyadarkanku. Tubuh kakuku
mulai bisa kugerakkan. Aku melihat ke sekitar, lalu berjalan mencari sumber
suara. Ternyata itu adalah paman. Muka paman memerah, tersulut emosi. Jarinya
menunjuk pada seorang wanita dan pria. Berbagai kata-kata kasar dikeluarkan
oleh paman dan juga pria itu. Mereka benar-benar saling meneriaki satu sama
lain. Aku terkejut sejadi-jadinya. Dengan mendengarkan pembicaraan itu, dapat
kupastikan bahwa wanita dan pria itu adalah orang tuaku. Tunggu, bukan kah
mereka sudah tiada?
Jleb!
“Aaaa!” teriak wanita itu. Aku melihat ayahku dihabisi
oleh paman. Aku bergidik ngeri. Saking takutnya, aku sampai kencing di celana.
Aku benar-benar ketakutan, ini terasa seperti nyata.
“Jangan Bud, kumohon jangan," wanita itu memohon
pada paman. Bukannya kasihan, paman malah menghabisi wanita itu sampai terbujur
lemah. Aku hanya bisa diam menangis, aku yakin ini hanya mimpi. Orang sebaik
paman tidak mungkin sejahat ini. Aku ingin cepat-cepat bangun dari tidurku.
Paman berteriak dan mulai membenturkan kepalanya ke
tembok dengan keras. Aku panik, walau kutahu ini hanya mimpi namun aku berlari
menghampiri paman dan berusaha untuk menahannya. Namun nihil, paman bersikap
acuh seakan dia tidak melihatku. Aku hanya bisa menangis dan berteriak
mengucapkan kata, "hentikan!" berulang kali. Akhirnya, paman
berhenti. Dia duduk melihat semua yang telah dia perbuat. Dia berdiri, dan
membawa jasad pria dan wanita tersebut secara bergantian ke halaman rumah. Dia
mulai memasukan jasad pria dan wanita itu ke koper. Dia terdiam sejenak sebelum
mulai mengambil alat bangunan. Aku sangat terkejut, paman memakai alat bangunan
untuk membuat kursi dari tembok. Di dalam tembok itulah paman menyembunyikan
jasad pria dan wanita itu. Yang lebih mengejutkannya lagi, tembok itu adalah tembok
yang kugunakan untuk berduduk santai di dekat kolam. Aku mulai tidak yakin
bahwa ini hanya mimpi.
Aku tersadar, tidak, ini hanya mimpi buruk. Aku
melihat sebuah pisau dan kucoba untuk melukai tanganku. Berdarah. Aku harap ini
bisa membuktikan bahwa ini bukan mimpi.
Aku terbangun dari tidur ku dengan nafas yang tidak
beraturan. Aku melihat tanganku yang berdarah. Benar, ini bukan mimpi. Tanganku
terluka dan masih meneteskan darah. Aku mulai berpikir apa yang harus aku
lakukan. Tanpa pikir panjang, aku membawa jaket dan mulai mengendarai mobil ku
di tengah gelapnya malam untuk ke kantor polisi. Tentu aku tidak mungkin ke
kantor polisi dengan cerita konyolku. Mereka pasti tidak akan percaya. Dan
akhirnya aku membawa kotak hitam itu sebagai bukti. Aku akan menceritakan
semuanya walau pasti mereka tidak akan percaya. Aku akan menyerahkan kursi
tembok itu pada polisi. Karena itu, aku menjadi tidak fokus. Sebuah mobil truk
yang sedang melaju dengan kencang menghantam mobilku.
Aku terbangun di rumah sakit. Paman tertidur di
sampingku sambil memegang tanganku. Aku coba untuk duduk, dan paman mulai
terbangun dari tidurnya. Paman hanya menatap ku dalam. Dia tidak melontarkan
sepatah kata pun. Dengan hati yang masih kecewa, aku lebih memilih menatap ke
bawah dibandingkan harus menatap mata paman.
“Adit, sebenarnya kamu anak paman,” ucap paman sembari
terisak. Aku terkejut, menatap paman tanpa sepatah kata pun.
“Kamu sebenarnya anak paman, Adit. Sekarang kamu harus
transfuse darah. Darah kamu dan paman cocok.”
Aku menangis. Ternyata paman yang selalu kupuja ialah
ayah sekaligus pembunuh yang sangat jahat. Aku menepis tangan paman yang
memegang tanganku. Aku merasa dibohongi selama ini. Aku merasa sangat kecewa
pada paman. Aku sangat tidak mengerti dengan takdir, mengapa bisa serumit ini.
Tujuh tahun sudah kulewati. Kini aku sudah menjalani
hidup sendiri tanpa bantuan paman. Paman sudah dipenjara. Paman seperti sudah
tahu hal ini akan terjadi. Dia hanya tersenyum dan mengaku bahwa ia telah
melakukan semua kejahatan itu.
Menjalani hidup tanpa paman tidak mudah. Aku harus
mencari pekerjaan sendiri untuk membiayai hidup ku, terlebih saat itu aku masih
menjadi seorang siswa. Perasaan bersalah selalu menghantui diriku. Aku terkadang
menyesal telah melapor ke polisi. Paman mengaku dia mengurusku dari bayi karena
dia merasa bersalah dan ingin menebus kesalahannya.
Setelah sekian lama menghilang, wanita dalam mimpi,
yang ternyata ibuku, berkunjung ke mimpiku. Dia hanya tersenyum, lalu mengucapkan
terimakasih sembari mengusap kepalaku, lalu menghilang. Setelah itu, aku tidak
pernah melihat ibu menampakkan diri.***
0 comments:
Post a Comment