Ulfa Renita
9G
"Selamat! Telah diciptakan kaki palsu untuk yang berkebutuhan
khusus!"
Tulisan itu terletak di mana-mana. Di papan iklan
gedung-gedung, pasar, dan di tempat ramai lainnya. Jono tersenyum bahagia dan bangga
karena ia dapat membantu sebagian orang yang berkebutuhan khusus.
Jono, si anak yang ceria, tinggal di pelosok tanpa sosok
seorang ayah. Jono hanya tinggal bersama ibunya. Ibunya mencari nafkah dengan
menjual koran di pinggir jalan. Tentu saja, pekerjaan ibunya tak cukup untuk
membiayai mereka.
“Jono, lihat ini! Pasti kamu nggak punya, ya? Kasihan… ahahaha!”
Ryan tertawa terbahak-bahak menertawakan.
Brukk!
Mainan Ryan jatuh. Jono sengaja menjatuhkannya.
“Jono! Kok kamu gitu sih? Emang kamu bisa ganti? Aku
nggak mau tahu, ya. Pokoknya, mainan ini harus kamu ganti!" Ryan marah sembari
menunjuk-nunjuk ke arah wajah Jono. Jono kesal, lalu ia meninggalkan Ryan
bersama teman-temannya.
Seperti biasa, sepulang sekolah, Jono diam di rumah
sendirian. Perutnya sangat lapar. Ia berjalan ke arah meja. Tak ada apa pun di
meja, kosong. Jono mendesah pelan, lalu ke kamar dan beristirahat.
“Jono…. Sudah bangun?" Ibunya tersenyum, lalu
menyodorkan sepiring nasi untuknya.
“Asik! Jono makan siang!” Jono berlari dan langsung
menyambar sepiring nasi tersebut.
“Siang? Ini udah sore, Jono.”
“Jono lelah, Bu, jadi ketiduran sampai lupa waktu, hehe.”
“Jono, setelah makan temuin ibu, ya. Ada yang ingin ibu
bicarakan.” ujar Ibu dan meninggalkan Jono. Jono pun makan dengan bergegas agar
dapat mengetahui apa yang akan dibicarakan oleh ibunya.
“Ibu mau bicara apa?" Jono menghampiri ibunya di
kamar.
“Kamu kenapa lagi, Jono? Ibu Ryan datang ke ibu. Katanya
kamu merusak mainan Ryan, ya?” Nada bicara ibu berubah. Jono bergidik
ketakutan.
“Kok gak jawab? Orang tua ngomong tuh dijawab, Jono!”
“Iya ibu, Jono yang merusak mainan Ryan.”
“Kamu sudah besar Jono. Seharusnya kamu sudah bisa
mengerti kondisi ekonomi kita! Utang di mana-mana, makan susah, dapat
penghasilan juga susah, kamu malah bikin ulah.” Ibu membentak Jono. Jono hanya
bisa terdiam dan menunduk.
Setelah dimarahi ibu, perasaan Jono tidak enak. Ia
menaiki sepeda pemberian kakeknya yang sudah tiada. Ia akan menemui teman
ayahnya dulu, yaitu pak Toni.
“Assalamualaikum, Pak,” Jono mengetuk pintu rumah Pak
Toni.
“Waalaikumsalam, Jono. Ada apa, Nak?” jawab Pak Toni
setelah membuka pintu.
"Pak Toni punya uang dua ratus ribu? Aku
membutuhkannya. Aku mohon.”
"Ada. Tapi uangnya akan bapak pake minggu depan.
Buat apa, Jon?”
"Tak apa Pak, aku bisa ganti dengan waktu dua
minggu.” Jono sangat memohon pada pak Toni. Pak Toni yang tak tega, ia segera
memberikan uang berjumlah dua ratus ribu pada Jono.
***
"Ini uang buat mengganti mainan kamu. Maafin, ya.”
Jono menyodorkan 2 lembar kertas berwarna merah pada Ryan dan meninggalkan Ryan
yang masih terdiam tak percaya Jono dapat membayar mainan yang telah ia rusak.
Jono sangat lelah memikirkan bagaimana membayar
hutangnya pada Pak Toni dalam kurun waktu 2 minggu.
“Ah aku tahu! Jualan karya gambar, kali ya? Semoga laku!
Semangat, Jono!” ucap Jono menyemangati dirinya sendiri.
Jono pun mulai menjual gambar hasil karyanya. Usaha Jono
sangat laku. Namun, ini tidak mudah bagi Jono. Setiap pulang sekolah ia harus
pergi ke pasar untuk menjual dagangannya. Dan setiap malam ia harus menggambar.
Tetapi, Jono sangat senang karena bisa mendapatkan uang untuk membantu ibunya.
Uang sebesar dua ratus tujuh puluh ribu telah Jono
dapatkan dalam jangka waktu dua minggu. Akhirnya, Jono memakai uang itu untuk
membayar hutangnya pada Pak Toni. Jono melanjutkan usahanya. Penghasilan dari
dagangan yang ia dapatkan dibagi dua. Setengah untuk dirinya, dan setengahnya
lagi untuk ibunya. Tapi, semakin lama ia berdagang, semakin sedikit juga
pembeli yang datang padanya. Karena sudah lelah dan mulai tak ada yang ingin
membeli karya nya, Jono berhenti berjualan. Dan kembali terpuruk di kondisi
ekonominya.
Bertahun-tahun telah Jono lewati. Kini, ia telah
menginjak umur 20 tahun. Ia sekarang telah meraih pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi. Jono dapat kuliah karena mendapat beasiswa. Walaupun Jono
mendapatkan beasiswa, namun tetap saja itu tidak mudah bagi Jono. Usaha Jono
untuk mendapatkan beasiswa sangat tidak mudah. Dan saat menjalani kuliah dengan
beasiswa pun, tidak mudah. Banyak cobaan yang harus Jono lewati. Seperti
bekerja untuk biaya hidup sehari-hari, bekerja untuk hidup ibunya di kampung
sana, dan mengimbangi gaya hidup seperti teman di kampusnya.
Hubungan Jono dengan ibunya semakin renggang. Apalagi ia
sekarang tinggal di Jogja, jauh dari ibunya. Jono mencari pekerjaan sampingan
dengan berjualan di pasar, dengan ilmu yang ia dapatkan saat berjualan karya
gambarnya dulu. Tapi tak bisa di pungkiri, penghasilannya tidak cukup untuk
bertahan hidup di kota.
Kini Jono melihat pemandangan kota Jogja dari kaca
sebuah bus. Ia sedang di perjalanan menuju ke kampungnya. Tetangganya menelepon
Jono, ia berkata bahwa ibu Jono tertabrak dan harus diamputasi. Jono saat
mendengar apa yang di katakan oleh tetangganya, ia menangis sejadi-jadinya. Ia
sangat khawatir. Sebab, ibunya ialah satu-satunya yang paling berharga dalam
hidupnya. Semangat yang ada di diri Jono hanyalah ibu nya. Tanpa dukungan
ibunya, ia tak akan bisa melawan pahitnya dunia.
Sesampainya di rumah sakit, ia menangis. Hatinya sangat sedih.
Air mata yang sedari tadi sudah hilang, kini kembali. Ia melihat ibunya
terbaring lemas di atas ranjang rumah sakit. Jono berlari dan memeluk ibunya
tanpa sepatah kata pun.
"Jono, kamu baik-baik aja nak? Maaf selama ini ibu
selalu membentakmu. Perkataan ibu selalu menyinggungmu. Maaf juga ibu tidak
bisa memberi seperti yang ibu orang lain beri.” Ibu menangis di pelukan Jono.
Jono mengeratkan pelukannya dan ikut menangis.
***
Jono semakin semangat kuliahnya. Ia pun sekarang lebih
serius dalam pekerjaannya. Sehingga ia mempunyai lebih banyak penghasilan.
Penghasilan itu ia pakai untuk berobat ibunya, dan sebagian untuk kebutuhan
kuliahnya. Ia juga sedang mengumpulkan bahan untuk membuat kaki palsu untuk
ibunya. Karena harga yang sangat mahal untuk membeli bahan-bahan yang di
butuhkan, Jono sangat kesulitan untuk membelinya. Mau tidak mau ia menundanya.
Jono berpikir, apa ia selipkan karya gambarnya ke barang dagangannya di pasar?
Jono akan mencobanya. Tidak salah kan jika ia mencoba?
Usaha Jono laku. Ia pun mulai bisa membeli bahan-bahan
untuk pembuatan kaki palsu untuk ibunya.
Sekitar 4 bulanan, akhirnya kaki palsu untuk ibunya pun
sudah jadi. Ia segera bersiap untuk mengunjungi ibunya. Ia sangat tak sabar
melihat reaksi ibunya ketika ia memberikan sebuah kaki palsu untuknya.
"Ibu, bagaimana kabar ibu? Apa ibu baik-baik saja?
Aku membawakan sesuatu untuk ibu." Jono tersenyum, lalu menyodorkan kotak
besar pada ibunya.
"Apa ini, anakku?"
"Buka saja, Bu." Ibu Jono membuka kotak itu. Ia
menangis bahagia. Ternyata meski jarang mengunjunginya, Jono sangat perhatian.
Ibu Jono telah berburuk sangka. Ia kira, Jono jarang berkunjung karena tidak
peduli padanya. Ternyata, Jono selalu sibuk membuat kaki palsu. Ibu menyimpan
kotak itu lalu merentangkan tangannya. Jono yang melihat ibunya memberi
merentangkan tangannya, langsung memeluk ibunya. Mereka berdua menangis
bahagia.
Sejak saat itu, Jono menjadi orang yang sukses. Ia
sekarang sudah membuat pabrik untuk pembuatan kaki palsu, guna membantu orang
lain yang berkebutuhan khusus. Jono sangat bahagia. Namun sayang, kaki palsu yang
dibuat untuk ibunya hanya terpakai dua minggu oleh ibunya. Karena, setelah Jono
memberikan kaki palsu untuknya, dua minggu setelahnya ibu Jono meninggal.
Namun, Jono senang karena setidaknya orang yang berkebutuhan khusus dapat menggunakan kaki palsu
buatannya.***