Neisca Althafunnisa Widana
Kelas 9B
Aku mengambil sebuah penyiram tanaman yang terlihat ditinggalkan di pinggir lapangan olahraga. Benda itu tidak besar, namun tidak kecil juga. Aku tidak mengisinya dengan air, sadar di sana masih ada air tersisa cukup banyak. Aku menghela nafas.
"Ya ampun. Properti
klub tanaman rasanya kadang suka ditempatkan di mana-mana," ucapku sambil
mengangkatnya dengan satu tanganku.
Perlahan aku berjalan
menjauh dari lapangan olahraga, bermaksud menyirami bunga yang berada di area
klub tanaman dengan air yang tersisa di sana. Namun tidak sampai lima langkah,
terdengar seseorang memanggilku dari belakang.
"HOI! KAMU EMU, YA?!"
Teriak seseorang dari
belakang. Karena penasaran, lantas aku melihat ke arah belakang. Itu Sherly,
dia terlihat seperti baru saja selesai dari kegiatan klub voly. Terlihat perban kuning di kedua tangannya.
Sherly
"Sherly..?"
bisikku. Kemudian aku menghampirinya dengan tanganku yang masih memegang
penyiram tanaman. Dia terlihat senang saat melihatku memegang penyiram tanaman.
"Syukurlah benar!
Kamu masih membawa benda itu. Lumayan berguna! Sini…sini…. Aku akan membawamu
ke suatu tempat," ucapnya sambil memegang tanganku.
"T-tunggu! Tasku
masih di kelas. Kalau nanti kelas dikunci bagaimana?" aku dengan panik berusaha
melepaskan genggaman Sherly, namun genggaman itu sangat erat.
"Santai aja kali.
Aku tidak akan membawamu lama-lama kok. Ayo! Pastikan airnya tidak tumpah,
ya!" Sherly berlari sambil memegang tanganku. Larinya tidak kencang.
Terasa santai, di sisi lain dia terlihat terburu buru.
"Ada apa. Kita mau
ke mana?" tanyaku dengan nada kecil. Namun aku yakin Sherly bisa
mendengarnya. Dia memiliki telinga yang tajam.
"Tempat! Pokoknya
tempat rahasia deh!" Dia tetap berlari, mengarah ke belakang sekolah yang
kumuh. Tempat itu penuh dengan lumut.
Sebenarnya tempat itu
mengarahkan ke gang bau dan sempit. Aku sudah tiga tahun sekolah di sini tidak
mengetahui ada apa di dalam gang itu. Banyak orang yang bilang kalau gang itu
adalah tempat siswi di sini dibunuh oleh stalker dan dia jadi ergentayangan.
Tentu siswa penakut
sepertiku tidak berani ke sana. Banyak rumor mengatakan bahwa orang kerap
melihat penampakan seorang wanita di ujung gang itu, dengan mata yang hitam dan
tidak memiliki tangan kanan.
"Kamu…tahu kan, di
sini pernah ada kasus pembunuhan?" aku berkata pada Sherly dengan nada
yang takut. Namun dia tidak menghiraukan itu. Dia hanya berkata.
"Astaga, mitos itu
masih kamu percayai? Jangan lupa minimkan nafasmu ya, karena di sini sedikit
bau. Bau septic tank, kamu tau kan? Hahaha!" Sherly tertawa dengan. Aku
diam, tapi tetap saja aku tidak tahu dia mau membawaku ke mana.
"Aku namakan ini
tempat rahasia! Hanya empat orang yang tahu tempat ini, termasuk kamu! Penyiram
tanaman itu akan berguna di sana," jelas Sherly. Dia masih menggenggam
tanganku, lalu dia sibuk dengan kunci dan gembok yang menempel di pintu.
"Kamu… apa yang kamu
sedang lakukan?" terdengar suara halus perempuan di belakang. Sherly
terlihat seperti tidak mendengar apa-apa. Karena penasaran, aku menengok ke
belakang.
Sekujur tubuhku tiba-tiba
bergetar. Keringat dingin datang entah dari mana. Yang aku lihat adalah
perempuan dengan rambut panjang kusut, mata yang terbelalak hitam sehitam
langit malam. Tangan kanannya seperti terpotong namun tidak sepenuhnya putus
Badannya penuh dengan luka sayatan besar, dan terdapat luka tusuk yang terlihat
membekas dari bajunya.
"She...Sher...."Aku
tidak bisa berkata apa-apa, mulutku terkunci. Perempuan itu mendekatiku dan
Sherly dengan sangat pelan. Dari satu langkah besar dia, dia menjatuhkan
tangannya yang hampir putus itu. Dan sekarang benar-benar putus. Darah
berceceran di mana mana. Perempuan itu tetap melanjutkan langkahnya, semakin
cepat, dan cepat.
"Rin. Hentikan. Dia
teman baru kita," ucap Sherly sambil membuka pintu yang sibuk dia urusi
tadi.
"Eh? Teman baru?
Syukurlah! Halo!" ucap gadis berambut kusut itu. Dia melepaskan wig rambut
itu dengan tangan kirinya dan tangan kanannya keluar dari lengan bajunya,
sembari mengeluarkan kantong plastik yang berisikan cairan berwarna merah darah
dari dalam baju bagian pundaknya.
Aku terjatuh karena
kaget. Aku sangat syok. Semua kejadian yang aku alami tadi terlihat sangat,
sangat nyata.
"Kamu gak pa pa?!
Hei…maafkan aku karena menakutimu. Aku kira kamu hanya orang asing lainnya yang
penasaran di area ini." Rin, pempuan
'hantu' itu, mengulurkan tangannya padaku.
Aku meraihnya dan aku
mendapati bahwa dia manusia asli. Aku menghela nafas lega.
"Apa itu tadi?"
tanyaku. Aku menengok ke penyiram
tanaman yang aku jatuhkan tadi. Syukurlah ternyata airnya tidak tumpah karena
ada penutupnya.
"Kamu Emu, ya? Orang
yang sering terlihat sibuk di klub tanaman itu. Kamu terlihat seperti jarang
berbicara. Aku pernah ingin mengajakmu mengobrol, namun kamu sepertinya tidak mendengar,
" jelas Rin sambil membantu aku berdiri. Aku hanya mengangguk.
"Selamat datang. Kamu
akan menyukai tempat ini. Di sini banyak bunga. Atmosfer di sini juga
indah." Sherly mengenggam tanganku dan membawaku masuk ke tempat yang
dituju.
Tempatnya benar-benar
indah. Di sana ada sungai besar yang terlihat jarang sekali ditempati orang.
Atmosfer di sana juga sangat indah. Terutama di sore hari.
Di sana, aku melihat ada
beberapa tanaman yang jarang kulihat dan bahkan hampir tidak pernah kulihat.
Ada spider lily yang berwarna merah, juga bunga mawar putih yang sangat indah
tertanam. Namun bunga-bunga itu seperti tidak pernah diberi pupuk. Hanya air,
yang mungkin juga hanya air hujan. Lalu di bagian pojok ada pohon pinus dan
beringin yang sangat rindang. Terlihat sudah berpuluh-puluh tahun tertanam di
sana.
Tentu saja, air sungai
pun yang sangat jernih Di dalam sungai itu ada banyak sekali kerikil yang
berbentuk bulat. Aku terpana dengan pemandangan itu.
"Indah
sekali...," ucapku sambil jongkok di depan sungai itu dan memainkan air di
sana.
***
Rin dan Sherly tertawa, tapi seperti bukan tawa bahagia. Lebih tedengar seperti tawa puas. Rin mengambil
batu besar dari semak-semak, terlihat seperti disembunyikan.
Rin mengambil batu itu
dengan kedua tangannya dan berjalan ke arah Emu yang sedang menikmati
pemandangan sambil memainkan air di sungai. Dekat, dan semakin dekat. Rin
mengayunkan batu besar itu ke kepala Emu.
Terdengar benturan sangat
keras dari benturan antara kepala dan batu itu. Tidak sempat berteriak, Emu
sudah terjatuh dengan darah yang mengalir deras dari kepalanya. Rin dan Sherly
hanya menatap. Senyum terukir dari wajah mereka.
"Sudah ke
berapa?" tanya Rin.
"4," jawab
Sherly.
"Angka yang bagus,"
kekeh Rin.