21 October 2022

Taman Rahasia

Edit Posted by with No comments

Neisca Althafunnisa Widana

Kelas 9B


Emu



TAMAN RAHASIA

Aku mengambil sebuah penyiram tanaman yang terlihat ditinggalkan di pinggir lapangan olahraga. Benda itu tidak besar, namun tidak kecil juga. Aku tidak mengisinya dengan air, sadar di sana masih ada air tersisa cukup banyak. Aku menghela nafas.

"Ya ampun. Properti klub tanaman rasanya kadang suka ditempatkan di mana-mana," ucapku sambil mengangkatnya dengan satu tanganku.

Perlahan aku berjalan menjauh dari lapangan olahraga, bermaksud menyirami bunga yang berada di area klub tanaman dengan air yang tersisa di sana. Namun tidak sampai lima langkah, terdengar seseorang memanggilku dari belakang.

"HOI! KAMU EMU, YA?!"

Teriak seseorang dari belakang. Karena penasaran, lantas aku melihat ke arah belakang. Itu Sherly, dia terlihat seperti baru saja selesai dari kegiatan klub voly. Terlihat perban kuning di kedua tangannya.


                                                                                Sherly

"Sherly..?" bisikku. Kemudian aku menghampirinya dengan tanganku yang masih memegang penyiram tanaman. Dia terlihat senang saat melihatku memegang penyiram tanaman.

"Syukurlah benar! Kamu masih membawa benda itu. Lumayan berguna! Sini…sini…. Aku akan membawamu ke suatu tempat," ucapnya sambil memegang tanganku.

"T-tunggu! Tasku masih di kelas. Kalau nanti kelas dikunci bagaimana?" aku dengan panik berusaha melepaskan genggaman Sherly, namun genggaman itu sangat erat.

"Santai aja kali. Aku tidak akan membawamu lama-lama kok. Ayo! Pastikan airnya tidak tumpah, ya!" Sherly berlari sambil memegang tanganku. Larinya tidak kencang. Terasa santai, di sisi lain dia terlihat terburu buru.

"Ada apa. Kita mau ke mana?" tanyaku dengan nada kecil. Namun aku yakin Sherly bisa mendengarnya. Dia memiliki telinga yang tajam.

"Tempat! Pokoknya tempat rahasia deh!" Dia tetap berlari, mengarah ke belakang sekolah yang kumuh. Tempat itu penuh dengan lumut.

Sebenarnya tempat itu mengarahkan ke gang bau dan sempit. Aku sudah tiga tahun sekolah di sini tidak mengetahui ada apa di dalam gang itu. Banyak orang yang bilang kalau gang itu adalah tempat siswi di sini dibunuh oleh stalker dan dia jadi ergentayangan.

Tentu siswa penakut sepertiku tidak berani ke sana. Banyak rumor mengatakan bahwa orang kerap melihat penampakan seorang wanita di ujung gang itu, dengan mata yang hitam dan tidak memiliki tangan kanan.

"Kamu…tahu kan, di sini pernah ada kasus pembunuhan?" aku berkata pada Sherly dengan nada yang takut. Namun dia tidak menghiraukan itu. Dia hanya berkata.

"Astaga, mitos itu masih kamu percayai? Jangan lupa minimkan nafasmu ya, karena di sini sedikit bau. Bau septic tank, kamu tau kan? Hahaha!" Sherly tertawa dengan. Aku diam, tapi tetap saja aku tidak tahu dia mau membawaku ke mana.

"Aku namakan ini tempat rahasia! Hanya empat orang yang tahu tempat ini, termasuk kamu! Penyiram tanaman itu akan berguna di sana," jelas Sherly. Dia masih menggenggam tanganku, lalu dia sibuk dengan kunci dan gembok yang menempel di pintu.

"Kamu… apa yang kamu sedang lakukan?" terdengar suara halus perempuan di belakang. Sherly terlihat seperti tidak mendengar apa-apa. Karena penasaran, aku menengok ke belakang.

Sekujur tubuhku tiba-tiba bergetar. Keringat dingin datang entah dari mana. Yang aku lihat adalah perempuan dengan rambut panjang kusut, mata yang terbelalak hitam sehitam langit malam. Tangan kanannya seperti terpotong namun tidak sepenuhnya putus Badannya penuh dengan luka sayatan besar, dan terdapat luka tusuk yang terlihat membekas dari bajunya.

"She...Sher...."Aku tidak bisa berkata apa-apa, mulutku terkunci. Perempuan itu mendekatiku dan Sherly dengan sangat pelan. Dari satu langkah besar dia, dia menjatuhkan tangannya yang hampir putus itu. Dan sekarang benar-benar putus. Darah berceceran di mana mana. Perempuan itu tetap melanjutkan langkahnya, semakin cepat, dan cepat.

"Rin. Hentikan. Dia teman baru kita," ucap Sherly sambil membuka pintu yang sibuk dia urusi tadi.

"Eh? Teman baru? Syukurlah! Halo!" ucap gadis berambut kusut itu. Dia melepaskan wig rambut itu dengan tangan kirinya dan tangan kanannya keluar dari lengan bajunya, sembari mengeluarkan kantong plastik yang berisikan cairan berwarna merah darah dari dalam baju bagian pundaknya.

Aku terjatuh karena kaget. Aku sangat syok. Semua kejadian yang aku alami tadi terlihat sangat, sangat nyata.

"Kamu gak pa pa?! Hei…maafkan aku karena menakutimu. Aku kira kamu hanya orang asing lainnya yang penasaran di area ini." Rin, pempuan  'hantu' itu, mengulurkan tangannya padaku.

Aku meraihnya dan aku mendapati bahwa dia manusia asli. Aku menghela nafas lega.

"Apa itu tadi?" tanyaku. Aku menengok  ke penyiram tanaman yang aku jatuhkan tadi. Syukurlah ternyata airnya tidak tumpah karena ada penutupnya.

"Kamu Emu, ya? Orang yang sering terlihat sibuk di klub tanaman itu. Kamu terlihat seperti jarang berbicara. Aku pernah ingin mengajakmu mengobrol, namun kamu sepertinya tidak mendengar, " jelas Rin sambil membantu aku berdiri. Aku hanya mengangguk.

"Selamat datang. Kamu akan menyukai tempat ini. Di sini banyak bunga. Atmosfer di sini juga indah." Sherly mengenggam tanganku dan membawaku masuk ke tempat yang dituju.

Tempatnya benar-benar indah. Di sana ada sungai besar yang terlihat jarang sekali ditempati orang. Atmosfer di sana juga sangat indah. Terutama di sore hari.

Di sana, aku melihat ada beberapa tanaman yang jarang kulihat dan bahkan hampir tidak pernah kulihat. Ada spider lily yang berwarna merah, juga bunga mawar putih yang sangat indah tertanam. Namun bunga-bunga itu seperti tidak pernah diberi pupuk. Hanya air, yang mungkin juga hanya air hujan. Lalu di bagian pojok ada pohon pinus dan beringin yang sangat rindang. Terlihat sudah berpuluh-puluh tahun tertanam di sana.

Tentu saja, air sungai pun yang sangat jernih Di dalam sungai itu ada banyak sekali kerikil yang berbentuk bulat. Aku terpana dengan pemandangan itu.

"Indah sekali...," ucapku sambil jongkok di depan sungai itu dan memainkan air di sana.

***

Rin dan Sherly tertawa, tapi seperti bukan tawa bahagia. Lebih tedengar seperti tawa puas. Rin mengambil batu besar dari semak-semak, terlihat seperti disembunyikan.

Rin mengambil batu itu dengan kedua tangannya dan berjalan ke arah Emu yang sedang menikmati pemandangan sambil memainkan air di sungai. Dekat, dan semakin dekat. Rin mengayunkan batu besar itu ke kepala Emu.

Terdengar benturan sangat keras dari benturan antara kepala dan batu itu. Tidak sempat berteriak, Emu sudah terjatuh dengan darah yang mengalir deras dari kepalanya. Rin dan Sherly hanya menatap. Senyum terukir dari wajah mereka.

"Sudah ke berapa?" tanya Rin.

"4," jawab Sherly.

"Angka yang bagus," kekeh Rin.

                                                                                    


 


Rin

                                                                                      ***

Kena Batunya

Edit Posted by with No comments

Delfan Satria Kustiadi

Kelas 8C

Kena Batunya

Hari ini Dayu rajin sekali. Pagi-pagi, ia sudah bangun tidur. Ia segera siap-siap untuk pergi ke sekolah. Kemudian, ia segera menuju rumah Bayu dengan sepeda BMX-nya. Mereka pergi ke sekolah bersama-sama.       

Di perjalanan ia melihat Beni sedang memancing di sungai. Dayu dan Bayu segera berhenti. Mereka mau menjahili Beni. Dengan mengendap-endap, mereka mendekati dan kemudian mendorong Beni . Beni pun jatuh.          

“Ha…ha…ha…,” mereka tertawa kegirangan.

Untung saja Beni pandai berenang sehingga ia segera menepi ke pinggir sungai. Beni merasa sangat marah pada Dayu dan Bayu. Namun ia bersikap seolah tak peduli atas kejadian itu. Ia segera naik lagi ke daratan dan kembali memancing ikan. Ia memancing di bagian sungai yang sangat dalam.                 

"Wah, dia benar benar belagu, Bay! Lihat saja, dia seperti tidak melihat kehadiran kita,” ujar Dayu.

“Iya, tuh! Nanti pulang sekolah kita ceburin lagi!" timpal Bayu  .                            

"Ayo kita berangkat sekolah sebelum terlambat,” lanjutnya. Mereka pun pergi meninggalkan Beni. Beni memang tidak sekolah. Setelah lulus dari Sekolah Dasar, ia tidak melanjutkan sekolah.

***

Sepulang sekolah, Bayu dan Dayu berencana untuk menyeburkan Beni lagi. Mereka berdua mendekati Beni dengan mengandap-endap. Namun rupanya Beni sudah siap dengan rencana mereka yang akan menceburkannya lagi. Ia bahkan sudah menyusun rencana untuk membuat kedua anak itu jera.

Saat kedua anak itu hendak beraksi, ia segera berkata.

"Mau nyeburin aku lagi? Kalian ini memang sombong dan jahil, tapi aku tahu bahwa sebenarnya kalian penakut.”

"Apa kamu bilang? Kami penakut? Kalau berani, coba lawan kami,” ucap Dayu berapi-api.

“Kalau kalian berani, kejar aku sini! Ayo!" kata Beni sambil melompat ke sungai.                  

"Ayo kejar aku kalau kalian bukan pengecut!" lanjut Beni sambil terus berenang ke tengah.   

Dayu dan Bayu sangat marah. Tanpa pikir panjang, mereka segera melompat ke sungai. Mereka baru menyadari kalau sungai itu sangat dalam. Menyadari hal itu, Bayu segera berenang ke tepi sungai dan naik kedaratan. Tapi Dayu tidak bisa berenang. Ia mulai panik saat merasa tubuhnya terbawa arus.

"Tolong aku, Bay! Aku nggak bisa berenang,” teriak Dayu. Badannya timbul tenggelam terbawa arus sungai. Dari tepi sungai, Bayu hanya bisa melihat Dayu dengan rasa kasihan.

Beni mulai kehabisan nafas. Melihat hal itu, Beni merasa kasihan. Ia langsung mendatangi Dayu dan menariknya ke tepi. Beni langsung menidurkan Dayu dan menekan perut Dayu berkali-kali. Dayu memuntahkan air dari perutnya.

Dayu terlihat lemas. Namun ia berusaha bangkit. Dengan malu-malu, ia berkata.              

"Thank you sudah menolong aku, Beni. Aku sudah menjahili kamu, tapi kamu malah menolong aku. Maafkan aku, ya!"

"Maafkan aku juga, ya, Ben!” ujar Bayu.                       

Beni mengangguk

"Aku juga minta maaf. Gara-gara aku, kalian hampir tenggelam," kata Beni. Mereka bersalaman.  Dalam hati, Dayu dan Bayu berjanji untuk tidak menjahili orang lain lagi.

***

Soulpain

Edit Posted by with No comments

Dea Mustika

9I

  


Lyu Yi Fan

SOULPAIN

PAGI itu suasana sekolah masih senyap. Kalana berjalan menyusuri lorong sekolah dengan membawa kanvas dan beberapa jenis kuas.

Ia berjalan ditemani gerimis yang terdengar dari luar jendela. Ia berhenti di depan pintu ruang seni, salah satu ruang fasilitas yang disediakan oleh sekolah.

Kalana membuka pintu ruang seni dengan kunci yang ia pinjam dari guru. Kalana berjalan masuk, sesaat sebelum ia mengembuskan napas dan menghentikan langkah.

Untuk kesekian kalinya, Kalana melihat ruangan itu berantakan lagi. Banyak noda cat yang hampir kering melumuri lantai. Kuas-kuas yang disimpan telah patah menjadi dua bagian. Lukisan-lukisan sudah tidak jelas hasilnya karena tertimbun gores-gores abstrak yang sengaja dicoret asal, membuatnya tidak bisa diperbaiki kembali.

Kalana melihat beberapa kata yang ditulis dengan warna merah di jendela. Kalana tidak ingin membacanya. Ia dengan segera membawa alat kebersihan untuk membersihkan kekacauan yang telah dibuat entah oleh siapa itu.

"Wahh! Anda suka menggambar?" tanya seseorang. Nada suaranya terdengar antusias. Kalana berhenti menyapu, menatap ke arah gadis yang wajahnya yang terlihat asing. Cara dia berbicara bahasa Indonesia pun terdengar resmi.

"Ah, iya. Sedikit," balas Kalana.

"Apakah saya boleh masuk?" tanyanya.

Kalana mengangguk tanpa menjawab. Gadis itu masuk ke dalam, melihat yang ada di seluruh ruangan dengan intens.

"Nama saya Lyu Yi-Fan." Ia menatap ke arah Kalana sembari tersenyum, senyuman yang terlihat selembut awan. Namanya terdengar asing

“Aku Kalana, Kalana Ayudisha,” balas Kalana.

Lyu tak menjawab. Ia kembali menyibukkan diri dengan barang-barang yang ada di dalam ruangan itu.

"Anda…sering dirundung?" ujarnya secara tiba-tiba.

Kalana tersentak. Untuk sesaat, ia bingung harus menjawab apa.

"Dari mana kamu tahu hal itu?" tanya Kalana.

Lyu membalikkan badan, menatap ke arah Kalana dengan tersenyum tipis. Hanya saja, cara ia menatap Kalana tidak seramah senyumnya.

"Saya melihat banyak kuas patah di dalam kotak yang di sana. Saya juga melihat bekas cat warna merah di jendela. Kenapa kamu tidak melawan?"

Kalana mendengar rentetan kata yang diucapkan oleh Lyu. Cara pengucapannya seperti anak umur lima tahun. Berantakan. Namun, Kalana mengerti maksudnya.

"Aku kurang berani," jawab Kalana.

Ruangan kembali senyap, hanya terdengar suara bel yang berbunyi. Lyu tak kunjung membalas kalimat yang dilontarkan Kalana. Kalana berpikir, apakah dia berbuat kesalahan? Hingga akhir, Lyu tetap tidak berminat bebicara lagi. Lyu lebih dulu keluar ruangan kesenian tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

***

Bel makan siang telah berbunyi. Kalana membereskan buku yang berada di atas meja dan membawa kotak bekal makanan untuk dibawa ke ruang seni. Ia enggan untuk makan di kantin.

Kalana membuka pintu tanpa mengucapkan salam atau yang lain karena yang ia tahu, ruang seni hampir tidak pernah digunakan orang lain selain dirinya. Namun di sana, ia melihat Lyu duduk di kursi dekat jendela yang terbuka, membiarkan angin meniup rambut miliknya.

"Lyu? Sedang apa?"

Lyu menoleh, melirik ke arah Kalana dengan senyuman yang lebih ramah dari pada tadi pagi.

"Saya ingin minta maaf," ujar Lyu.

Kalana duduk di depan Lyu, ikut merasakan embusan angin.

"Tentang apa?" tanya Kalana.

"Saya pergi tanpa pamit tadi pagi. Saya hanya merasa bahwa saya telah melihat diri saya yang lama di dalam diri Anda." Nada suara milik Lyu terdengar menyesal.

Kalana terkekeh pelan. Ia kemudian membuka kotak makanan yang ia bawa dari rumah dan memberikan dua potong strawberry ke tangan Lyu.

"Cara bicaramu kaku sekali. Aku merasa sedang berbicara dengan Kepala Sekolah."

Lyu mengernyit, bingung dengan apa yang telah Kalana katakan.

"Saya murid baru di sini. Saya baru sampai bersama ayah saya dua hari yang lalu. Saya akan belajar di sini selama enam bulan. Dan saya belajar bahasa Indonesia baru-baru ini. Saya minta maaf jika bahasa Indonesia saya terdengar seperti yang Anda bicarakan."’

"Coba kamu ganti kata ‘saya’ jadi ‘aku’, dan kata ‘Anda’ jadi ‘kamu’."

Lyu terlihat berpikir. "Apakah itu lebih baik?" tanya Lyu.

Kalana mengangguk sebagai jawaban, Ia mendorong kotak makan miliknya ke tengah meja, menawarkan makanan untuk berbagi. Lyu menerimanya tentu saja. Untuk sesaat, mereka menikmati suasana dengan penuh canda tawa.

Kalana merasa seperti memiliki teman. Kalana baru sadar, wajah Lyu tidak seperti wajah orang Indonesia. Logatnya juga terkadang berubah menjadi Mandarin.

"Lyu, kamu berasal dari mana?"

Lyu berhenti mengunyah. "Aku berasal dari Beijing."

"Wahh! Dari China?!" Kalana terlihat tertarik dalam hal ini. Jelas sekali, karena sebelumnya ia belum pernah bertemu dengan orang yang berasal dari negara asing.

Lyu mengangguk sebagai jawaban. Ia tersenyum melihat respon Kalana.

***

Sejak hari itu, Kalana menjadi dekat dengan Lyu. Lyu Yi-Fan, anak kelas X MIPA 3. Kalana sendiri adalah anak kelas X MIPA 2. Namun, akhir-akhir ini Kalana tidak lagi melihat Lyu. Kalana khawatir terjadi sesuatu kepada Lyu.

Kalana berjalan menyusuri koridor sekolah yang terlihat sepi, berniat pergi perpustakaan untuk mengembalikan buku yang telah ia pinjam minggu lalu. Namun, di perjalanan, Kalana melihat segerombol anak perempuan di dalam toilet perempuan yang pintunya sedikit terbuka, sedang membully seseorang.

Kalana sempat merasa takut. Kalana seperti melihat dirinya sendiri. Namun, Kalana tidak mungkin diam saja. Lyu mengajarkannya agar lebih berani pada mereka.

Dengan rasa berani dan nyali yang pas-pasan, Kalana memaksakan diri untuk masuk dan menolong. Namun Kalana tersentak kaget saat melihat siapa target mereka. Dada Kalana berdesir. Ada rasa tidak nyaman yang menyapa dirinya. Itu Lyu. Targetnya Lyu.

Lyu menatap ke arah Kalana, tersenyum seperti biasanya. Matanya terlihat sendu. Kalana sempat berpikir, kenapa ia tidak melawan. Namun, tidak ada waktu untuk memikirkan hal itu.

Kalana berlari, mendekat ke arah Lyu. Ia hampir saja menangis saat dilihatnya banyak lebam biru di badannya. Lyu terlihat lemah. Bahkan untuk berdiri saja, dia hampir terjatu. Kalana memapah Lyu untuk menuju UKS. Banyak orang memandang mereka, seolah mereka adalah objek yang lebih menarik daripada apapun.

Lyu merintih. Kalana tidak berani bertanya soal bagaimana ia bisa menjadi seperti itu. Saat telah sampai di UKS, pihak UKS malah memanggil pihak rumah sakit karena melihat keadaan Lyu.

Lyu terlihat kehilangan udara. Dengan cepat Kalana meminta pertolongan pertama. Kalana melihat darah mengalir dari kepala milik Lyu. Kalana terisak. Kalana ingin kembali lalu memukul satu persatu orang yang merundung Lyu. Namun mereka telah pergi saat Kalana memapah Lyu tadi.

Para petugas UKS sibuk menghentikan pendarahan. Kalana mencoba berpikir, bagaimana cara mereka melukai Lyu sehingga mengalami perdarahan seperti ini? Dan saat ia mencoba memutar waktu, Kalana melihat salah satu dari mereka membawa botol yang sudah pecah.

Suara sirine terdengar. Dengan segera, Kak Gama, salah satu petugas UKS, menggendong Lyu. Ia berjalan dengan cepat ke luar sekolah. Banyak anak yang tertarik melihat hal itu, yang menimbulkan banyak gosip dengan cara menerka-nerka.

Kalana diajak ikut bersama Kak Gama untuk menemani Lyu. Mereka berdua masuk ke dalam mobil, duduk di kursi dalam mobil ambulan. Terlihat Kak Gama dan petugas ambulan memeriksa luka Lyu. Samar-samar terdengar bahwa ada pecahan beling kecil di kepalanya.

***

Kalana menunggu di depan ruang UGD bersama Kak Gama. Kalana melihat banyak darah yang hampir kering di seragamnya.

"Kamu berteman dengannya ‘kan, Kalana?" tanyanya.

Kalana mengangguk sebagai jawaban sambil menatap ke arah koridor rumah sakit yang terlihat sepi. Kalana hampir menangis, lagi.

"Dia menjauhiku akhir-akhir ini. Namun aku tidak tahu alasannya apa," ujarnya.

"Kamu selalu saja membuat masalah," lontar Gama.

Kalana menunduk. Ia tak menyangkal, hal ini mungkin benar-benar salahnya. Ia merasa aneh karena ia tidak dirundung selama dua bulan. Ternyata, mereka telah menemukan sesuatu yang lebih menarik, yaitu Lyu.

Pintu UGD terbuka. Kalana dan Gama berdiri bersamaan, menunggu berita yang pasti. Sesaat terdengar ada langkah kaki yang terdengar sedang berlari. Terlihat seorang pria dengan wajah panik. Ia berbicara pada perawat yang datang bersamanya. Pria itu berbicara menggunakan Mandarin. Kalana tidak mengerti apa yang dia ucapkan.

"Kurasa itu ayahnya," ujar Gama pelan.

Pria itu menatap ke arah Kalana dan Gama. Untuk sekilas, Kalana seperti melihat tatapan Lyu. Kalana membungkuk, diikuti Gama.

"Kalian boleh pulang. Aku akan menjaga anakku," ujarnya.

Kalana ingin menolak. Namun, Gama telihat  mengucapkan salam dan melangkah pergi. Kalana merasa tidak ada pilihan lain. Kalana mengikuti Gama, melangkah menuju pintu keluar. Dengan setengah hati, Kalana mencoba tenang.

Kalana memilih berjalan menyusuri jalan untuk pulang ke rumah. Ia melihat gores jingga yang telah mewarnai cakrawala. Kalana berdoa dalam hati, semoga Lyu baik-baik saja.

 

***

 

Setelah hari itu, Kalana memutuskan untuk datang ke Rumah Sakit besok sorenya. Sebelumnya, ia telah mampir ke toko buah untuk membeli beberapa buah. Kalana mendekati letak tempat administrasi. Kalana menanyakan di mana letak pasien bernama Lyu Yi-Fan.

Salah satu perawat di sana berbicara, bahwa Lyu telah diajak pergi oleh keluarganya. Pergi kembali, ke China. Kalana terdiam. Mengucapkan terima kasih dan mengambil langkah untuk kembali pulang.

Sejak hari itu, selama tujuh tahun, Kalana tak pernah melihat Lyu lagi. Lyu menghilang, seolah keberadaannya tak pernah ada.

***

Banyak hari yang telah Kalana lewatkan. Namun, ia tak pernah lupa pada Lyu. Kalana melihat seruan ombak. Ia menyimpan tangannya pada pagar besi yang membatasi area laut. Kalana memilih untuk melangkah pergi, saat melihat notif dari handphone miliknya.

***

Kalana melihat seorang gadis berdiri di depannya dengan senyuman selembut awan. Kalana merasa dadanya berdesir dan jantungnya berdetak lebih cepat. Pandangannya mulai kabur karena air mata yang memaksa jatuh.

"Kamu bohong. Katanya mau sekolah di sini hingga enam bulan, namun baru saja empat bulan, kamu sudah pergi." Hanya kalimat itu yang mampu ia lontarkan.

Gadis itu mendekat, memeluknya dengan erat. Kalana merasakan parfumnya. Kalana tahu ia adalah Lyu, Lyu yang t'lah lama hilang dari hidupnya.

Air mata Kalana tumpah tanpa dapat dicegah. Samar-samar Kalana mendengar Lyu berbisik mengucap kata apa kabar dan maaf.

Lyu melepaskan pelukannya. Ia juga ikut menangis.

"Aku tidur lamaaa banget dan sisa waktunya aku pakai untuk belajar berjalan. Saat bangun, aku hampir tidak tahu caranya berjalan," ujar Lyu.

Kalana tak menjawab, sibuk dengan air mata. Kalana ingin melontarkan banyak kata namun lidahnya seakan kelu. Banyak kata tak sempat ia ucapkan.

Siang itu adalah hari yang akan terus ia ingat. Teman sekaligus sahabatnya telah berpulang.

***

Stop bullying!!!


Bangkit Demi Pertiwi

Edit Posted by with 1 comment

 Nisrina Azizah

Kelas 9A

Bangkit Demi Pertiwi

 

 

Di atas padang yang luas

Banyak fatamorgana yang buas

Sanubariku meringkuk lemas

Otakku berpikir keras

Bisakah aku mengubah takdir yang ganas

 

Aku berdecak bimbang

Tubuhku rasanya terombang

Aku mau pulang

Tapi baktiku masih kurang

 

Kita adalah generasi milenial

Bangkit dari lingkaran berkubang

Mengubah nasib yang malang

Membonsai mimpi yang telah takluk

Kena hardik pikiran hiruk pikuk

 

Dengan berbekal pengalaman dan pengetahuan

Mari kita berusaha wujudkan impian

Bersama-sama terus berjuang

Walau salah terus terulang

 

Ini bukan saatnya pulang

Ibu Pertiwi masih butuh sang patriotik

Tegakah engkau pergi dengan tenang

Meninggalkan Pertiwi yang tengah dilanda pelik

 

Ingatlah wahai kawan

Tiada satu apapun yang mustahil dilakukan

Asal ada kemauan dalam diri

Kita bisa ciptakan dunia sendiri

Gempa

Edit Posted by with No comments

 Nindi Oktaviani

Kelas 7C

GEMPA

 

Runtuh. Remuk.

Darah. Luka.

Datangmu begitu tiba-tiba.

Mengambil semua yang kucinta.

 

Suara tangis begitu pilu.

Kesedihan kian menjadi.

Air mata menetes selalu.

Ketakutan tiada henti.

 

Tinggal ukiran kenangan.

Dan luka menganga.

Hilang semua harapan.

Ditelan bumi yang kandas.

Kumpulan Motivasi

Edit Posted by with No comments

 Dela Anggraeni Nurlida

9C

Kumpulan Motivasi

1. Aku ingin kamu tetap semangat walau cobaan begitu banyak, karena masih banyak orang yang sayang padamu, yang ingin melihatmu Bahagia.

2. Belajarlah dari kesalahan, karena orang yang tidak mau belajar dari kesalahan itu adalah orang yang rugi.

3. Berdamailah dengan ekspektasi, berdoalah memohon yang terbaik agar hati kita tenang.

4. Semakin kita dewasa, semakin banyak ujian yang kita terima.

Jangan pernah menyerah, karena Tuhan tahu kmu bisa melewati ujian yang Tuhan berikan untuk kamu.

5. Jangan terlalu mencintai manusia.

Takutnya kamu malah lebih mencintai hambanya dari pada yang menciptakannya.

6. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya.

Tidak Harus Sempurna

Edit Posted by with No comments

 

Ilma Renita

Kelas 9B               


                                                             Tidak Harus Sempurna


 

Hidup itu ibarat roda yang berputar

Kadang di atas, kadang juga di bawah

Kadang tertawa, kadang juga datang sebuah duka

Intinya tidak ada kehidupan yang sempurna

 

Kadang semesta sangat kejam pada kita

Sering datang membawa luka bahkan duka

Tapi, jangan menyerah jika mereka tiba

Kamu hanya sedang berada di roda bawah saja

Ada kalanya, kamu akan bahagia

 

Memang tidak mudah menjadi manusia

Selalu saja di tuntut untuk bisa apa saja

Tapi, kita tidak sempurna dan tidak perlu sempurna

Cukup menjadi sederhana,

dan lihat siapa saja yang menerima kita apa adanya

 

Kita tidak perlu terlihat baik di mata orang lain

Sebab yang terlihat baik belum tentu benar-benar baik

Jadilah versi diri kita sendiri,

tanpa harus memikirkan bagaimana kita di mata seorang penilai

 

Yang harus dilihat adalah diri kita sendiri

Yang sudah hebat melalui lika-liku kehidupan ini

Kehidupan yang begitu menyakitkan

Tetapi dia selalu saja bertahan

 

 

Jangan menyerah begitu saja saat semesta memberi luka

Istirahatlah sejenak dan tidurlah

Rasakan tuhan sedang memelukmu di dalam mimpi

Saat kamu terbangun, semua akan pulih kembali

Hatimu akan tenang, dan selalu tegar menjalani kehidupan

Akibat Durhaka Kepada Orang Tua

Edit Posted by with No comments

Rani Martias 

Kelas 8H

Akibat Durhaka Kepada Orang Tua

Di suatu tempat, hiduplah sebuah keluarga kecil yang terdiri dari ibu dan anak. Ibu itu bernama bu Mega dan anaknya bernama Risa. Bu Mega hanyalah seorang pemulung rongsokan. Sedangkan Risa, ia duduk di kelas 2 SMP.

Risa tidak pernah mengerti pada kondisi ibunya. Ia manja dan senang berfoya-foya. Suatu hari Risa meminta uang kepada ibunya.

"Buu, minta uang dong. Aku mau main dan belanja sama teman-teman," kata Risa.

"Nak, kamu kan tahu ibu hanya seorang pemulung rongsokan, jadi ibu tidak punya uang, Nak," kata bu Mega.

"Halah, Ibu. Masa gak ada uang? Pokoknya aku mau main dan belanja sekarang." Risa telihat sangat marah. Ibu Mega hanya terdiam dengan kesabarannya.

Beberapa jam kemudian, Risa melihat celengan kecil milik ibunya. Risa menghampiri celengan tersebut.

"Apa ini? Ternyata ibu punya celengan," kata Risa Ia pun memecahkan celengan tersebut.

Bu Mega datang menghampiri Risa.

"Risa! Apa yang kamu lakukan?" Bu Mega tekejut.

"Kata Ibu gak punya uang. Inia da di celengan," ujar Risa.

"Tapi itu untuk masa depan kita, Nak," jawab bu Mega.

"Halah, bodo amat. Pokoknya aku mau belanja!"ujar Risa. Kemudian Risa pun pergi meninggalkan rumah. Ibu Mega hanya bisa bersedih karena nasihatnya tidak digubris oleh Risa.

Risa pergi bersama teman-temannya. Mereka mau main dan berbelanja di pusat kota. Di tengah-tengah perjalanan, Risa merobos zebra cross tanpa melihat adanya mobil yang sedang melaju kencang. Teman-temannya sempat berteriak memperingati namun Risa tidak mendengar. Ia pun tertabrak mobil tersebut. Beberapa warga menghampiri Risa yang tergeletak di jalan dan hendak membawanya ke Rumah Sakit. Namun naas, ia tewas di tempat.

Polisi memberitahu Bu Mega mengenai kejadian itu. Sesampainya di TKP, ia menangis. Ia menyesal karena tidak mencegah  kepergian Risa.

 

INGAT

رِضَا اَللَّهِ فِي رِضَا اَلْوَالِدَيْنِ , وَسَخَطُ اَللَّهِ فِي سَخَطِ اَلْوَالِدَيْنِ

" Ridho Allah tergantung pada ridho orang tua dan murka Allah tergantung  pada murka orang tua" (H.R.Tirmidzi).

***

Generasi Muda dan Perjuangan

Edit Posted by with No comments

Asri Fajriani

Kelas 8C

Generasi Muda dan Perjuangan

 

Tiada pengorbanan yang sia-sia

Perjuangan para pahlawan s'lalu diingat bangsa

Kini mereka telah tiada

Giliran kita yang membela bangsa

 

Kita pemuda pemudi, maju

Menerjang hilangkan sembilu

Ingat jasa para pejuang terdahulu

Membela negara tanpa ragu

 

Bangkitlah semangat generasi muda

Kalau bukan oleh kita

Lalu siapa lagi yang membela?

 

Mereka telah mengorbankan segalanya

Setidaknya kita berusaha

Bersatu padu mempertahankan bangsa

 

Tak perlu takut gagal

Kita hanya perlu berusaha dan bertawakal

 

Ingat!

Ingatlah jasa para pejuang

Setidaknya kita mengenang

Pengorbanan dan keberhasilan yang tergelantang.

17 October 2022

Glimpse of Him

Edit Posted by with No comments

Ulfa Renita 

Kelas 8J

                                                                            Glimpse of Him

Menghela nafas dengan berat, lalu kutatap matanya.

"Maaf, aku nggak bisa," ucapnya.

Aku tersenyum, memaklumi. Jantungku rasanya berhenti berdetak. Mataku sudah tidak mampu menampung air mataku. Perlahan-lahan aku menunduk. Tidak ingin menatap ke arah matanya.

Taman, menjadi tempat yang paling kubenci. Orang yang ku sayangi, pergi begitu saja saat aku menyatakan perasaanku padanya di taman. Aku sangat-sangat menyesal. Aku menyerah, pasrah dengan semua yang telah terjadi.

Awalnya, aku dan Jisung bukan siapa-siapa, hanya saling menukar nomor ponsel. Jisung selalu mengirim pesan tidak penting padaku. Aku biasa saja, tapi lama-lama aku menjadi risih. Sampai suatu saat, ia mengirimi pesan seperti ini.

"Ren, tipe cowo kamu itu yang kayak gimana?" Dari pesan yang dia kirim itu, aku berpikir, bahwa Jisung menyukaiku.

Beberapa bulan terlewatkan. Jisung sudah jarang mengirimi pesan padaku. Aku mulai merasa kehilangan. Aku rindu Jisung mengirimi pesan dan foto kegiatannya padaku. 

Aku menyingkirkan egoku dan mengirimkan pesan basa basi pada Jisung. Respon Jisung terhadap pesanku di luar ekspektasiku. Jisung sangat berubah, ia menjawab pesanku dengan sangat singkat. Apa Jisung marah? Atau ia lelah dan membutuhkan waktu sendiri? Entahlah..

Dahulu, aku dan Jisung mendaftar di organisasi yang sama. Karna kami satu organisasi, kami menjadi akrab. Lama kelamaan aku dan Jisung menjadi lebih dekat. Aku selalu mengirimi pesan padanya, selalu bercerita padanya ketika kami bertemu. Jisung selalu bersemangat ketika mendengar keluh kesahku. Ia selalu memberikan solusi. Aku sepertinya mulai menyukai Jisung.

            Jisung bercerita padaku, ia menyukai seseorang. Seseorang itu ternyata adalah temanku. Hatiku sangat sakit saat mendengarnya. Jadi, selama ini aku hanya dianggap teman olehnya? Ternyata selama ini aku terlalu percaya diri. Jisung tidak menyukaiku, ia menyukai orang lain.

Hari ini, aku mengajak Jisung untuk bertemu di taman. Aku akan mengungkapkan perasaanku pada Jisung. Aku membuka pintu, menghela nafas panjang.

"Semangat Ren, pasti kamu bisa!" aku menyemangati diriku sendiri.

"Mau ngomong apa?" ucap Jisung dengan wajah datarnya. 

Aku sudah terbiasa dengan ekspresi itu. Aku menghela nafas, lalu berkata.

"Aku mau ngomong. Tapi sebelum ngomong, aku harap kamu ga jijik sama aku."

"Emang mau ngomong apa?" ucapnya.

"Aku suka kamu." Hening sesaat, tidak ada jawaban.

"Pasti kamu jijik ya sama aku?" tanyaku memastikan.

"Enggak. Kenapa kamu bisa suka sama aku? Kan kamu tahu aku suka sama Nira." ucapnya tegas.

Deg. Jantungku serasa berhenti berdetak.

Menghela nafas dengan berat, lalu kutatap matanya.

"Maaf, aku nggak bisa," ucapnya.

Aku tersenyum, memaklumi. Jantungku rasanya berhenti berdetak. Mataku sudah tidak mampu menampung air mataku. Perlahan-lahan aku menunduk, tidak ingin menatap ke arah matanya. Lututku terasa lemas. Aku sudah tidak bisa menahan berat tubuhku. Aku terduduk sembari terisak. Jisung hanya melihat tanpa berkutik. Sakit. Sangat sakit rasanya. Rada sedih, kesal, malu, semuanya campur aduk.

***