Dea Mustika
9I
PAGI itu
suasana sekolah masih senyap. Kalana berjalan menyusuri lorong sekolah dengan
membawa kanvas dan beberapa jenis kuas.
Ia berjalan ditemani gerimis yang
terdengar dari luar jendela. Ia berhenti di depan pintu ruang seni, salah satu
ruang fasilitas yang disediakan oleh sekolah.
Kalana membuka pintu ruang seni dengan
kunci yang ia pinjam dari guru. Kalana berjalan masuk, sesaat sebelum ia mengembuskan
napas dan menghentikan langkah.
Untuk kesekian kalinya, Kalana melihat
ruangan itu berantakan lagi. Banyak noda cat yang hampir kering melumuri lantai.
Kuas-kuas yang disimpan telah patah menjadi dua bagian. Lukisan-lukisan sudah
tidak jelas hasilnya karena tertimbun gores-gores abstrak yang sengaja dicoret
asal, membuatnya tidak bisa diperbaiki kembali.
Kalana melihat beberapa kata yang ditulis
dengan warna merah di jendela. Kalana tidak ingin membacanya. Ia dengan segera
membawa alat kebersihan untuk membersihkan kekacauan yang telah dibuat entah
oleh siapa itu.
"Wahh! Anda suka menggambar?"
tanya seseorang. Nada suaranya terdengar antusias. Kalana berhenti menyapu, menatap
ke arah gadis yang wajahnya yang terlihat asing. Cara dia berbicara bahasa
Indonesia pun terdengar resmi.
"Ah, iya. Sedikit," balas Kalana.
"Apakah saya boleh masuk?" tanyanya.
Kalana mengangguk tanpa menjawab. Gadis
itu masuk ke dalam, melihat yang ada di seluruh ruangan dengan intens.
"Nama saya Lyu Yi-Fan." Ia
menatap ke arah Kalana sembari tersenyum, senyuman yang terlihat selembut awan.
Namanya terdengar asing
“Aku Kalana, Kalana Ayudisha,” balas Kalana.
Lyu tak menjawab. Ia kembali menyibukkan
diri dengan barang-barang yang ada di dalam ruangan itu.
"Anda…sering dirundung?"
ujarnya secara tiba-tiba.
Kalana tersentak. Untuk sesaat, ia
bingung harus menjawab apa.
"Dari mana kamu tahu hal itu?" tanya
Kalana.
Lyu membalikkan badan, menatap ke arah Kalana
dengan tersenyum tipis. Hanya saja, cara ia menatap Kalana tidak seramah
senyumnya.
"Saya melihat banyak kuas patah di
dalam kotak yang di sana. Saya juga melihat bekas cat warna merah di jendela.
Kenapa kamu tidak melawan?"
Kalana mendengar rentetan kata yang diucapkan
oleh Lyu. Cara pengucapannya seperti anak umur lima tahun. Berantakan. Namun, Kalana
mengerti maksudnya.
"Aku kurang berani," jawab Kalana.
Ruangan kembali senyap, hanya terdengar
suara bel yang berbunyi. Lyu tak kunjung membalas kalimat yang dilontarkan Kalana.
Kalana berpikir, apakah dia berbuat kesalahan? Hingga akhir, Lyu tetap tidak
berminat bebicara lagi. Lyu lebih dulu keluar ruangan kesenian tanpa
mengucapkan sepatah kata pun.
***
Bel makan siang telah berbunyi. Kalana membereskan buku yang
berada di atas meja dan membawa kotak bekal makanan untuk dibawa ke ruang seni.
Ia enggan untuk makan di kantin.
Kalana membuka pintu tanpa mengucapkan salam
atau yang lain karena yang ia tahu, ruang seni hampir tidak pernah digunakan
orang lain selain dirinya. Namun di sana, ia melihat Lyu duduk di kursi dekat
jendela yang terbuka, membiarkan angin meniup rambut miliknya.
"Lyu? Sedang apa?"
Lyu menoleh, melirik ke arah Kalana dengan
senyuman yang lebih ramah dari pada tadi pagi.
"Saya ingin minta maaf," ujar
Lyu.
Kalana duduk di depan Lyu, ikut merasakan
embusan angin.
"Tentang apa?" tanya Kalana.
"Saya pergi tanpa pamit tadi pagi.
Saya hanya merasa bahwa saya telah melihat diri saya yang lama di dalam diri
Anda." Nada suara milik Lyu terdengar menyesal.
Kalana terkekeh pelan. Ia kemudian membuka
kotak makanan yang ia bawa dari rumah dan memberikan dua potong strawberry ke
tangan Lyu.
"Cara bicaramu kaku sekali. Aku
merasa sedang berbicara dengan Kepala Sekolah."
Lyu mengernyit, bingung dengan apa yang
telah Kalana katakan.
"Saya murid baru di sini. Saya baru
sampai bersama ayah saya dua hari yang lalu. Saya akan belajar di sini selama
enam bulan. Dan saya belajar bahasa Indonesia baru-baru ini. Saya minta maaf
jika bahasa Indonesia saya terdengar seperti yang Anda bicarakan."’
"Coba kamu ganti kata ‘saya’ jadi ‘aku’,
dan kata ‘Anda’ jadi ‘kamu’."
Lyu terlihat berpikir. "Apakah itu
lebih baik?" tanya Lyu.
Kalana mengangguk sebagai jawaban, Ia
mendorong kotak makan miliknya ke tengah meja, menawarkan makanan untuk
berbagi. Lyu menerimanya tentu saja. Untuk sesaat, mereka menikmati suasana
dengan penuh canda tawa.
Kalana merasa seperti memiliki teman. Kalana
baru sadar, wajah Lyu tidak seperti wajah orang Indonesia. Logatnya juga
terkadang berubah menjadi Mandarin.
"Lyu, kamu berasal dari mana?"
Lyu berhenti mengunyah. "Aku berasal
dari Beijing."
"Wahh! Dari China?!" Kalana
terlihat tertarik dalam hal ini. Jelas sekali, karena sebelumnya ia belum
pernah bertemu dengan orang yang berasal dari negara asing.
Lyu mengangguk sebagai jawaban. Ia
tersenyum melihat respon Kalana.
***
Sejak hari itu, Kalana menjadi dekat dengan Lyu. Lyu Yi-Fan, anak
kelas X MIPA 3. Kalana sendiri adalah anak kelas X MIPA 2. Namun, akhir-akhir
ini Kalana tidak lagi melihat Lyu. Kalana khawatir terjadi sesuatu kepada Lyu.
Kalana berjalan menyusuri koridor sekolah
yang terlihat sepi, berniat pergi perpustakaan untuk mengembalikan buku yang
telah ia pinjam minggu lalu. Namun, di perjalanan, Kalana melihat segerombol
anak perempuan di dalam toilet perempuan yang pintunya sedikit terbuka, sedang
membully seseorang.
Kalana sempat merasa takut. Kalana
seperti melihat dirinya sendiri. Namun, Kalana tidak mungkin diam saja. Lyu mengajarkannya
agar lebih berani pada mereka.
Dengan rasa berani dan nyali yang pas-pasan,
Kalana memaksakan diri untuk masuk dan menolong. Namun Kalana tersentak kaget
saat melihat siapa target mereka. Dada Kalana berdesir. Ada rasa tidak nyaman
yang menyapa dirinya. Itu Lyu. Targetnya Lyu.
Lyu menatap ke arah Kalana, tersenyum
seperti biasanya. Matanya terlihat sendu. Kalana sempat berpikir, kenapa ia
tidak melawan. Namun, tidak ada waktu untuk memikirkan hal itu.
Kalana berlari, mendekat ke arah Lyu. Ia
hampir saja menangis saat dilihatnya banyak lebam biru di badannya. Lyu
terlihat lemah. Bahkan untuk berdiri saja, dia hampir terjatu. Kalana memapah Lyu
untuk menuju UKS. Banyak orang memandang mereka, seolah mereka adalah objek
yang lebih menarik daripada apapun.
Lyu merintih. Kalana tidak berani
bertanya soal bagaimana ia bisa menjadi seperti itu. Saat telah sampai di UKS,
pihak UKS malah memanggil pihak rumah sakit karena melihat keadaan Lyu.
Lyu terlihat kehilangan udara. Dengan
cepat Kalana meminta pertolongan pertama. Kalana melihat darah mengalir dari
kepala milik Lyu. Kalana terisak. Kalana ingin kembali lalu memukul satu
persatu orang yang merundung Lyu. Namun mereka telah pergi saat Kalana memapah
Lyu tadi.
Para petugas UKS sibuk menghentikan
pendarahan. Kalana mencoba berpikir, bagaimana cara mereka melukai Lyu sehingga
mengalami perdarahan seperti ini? Dan saat ia mencoba memutar waktu, Kalana
melihat salah satu dari mereka membawa botol yang sudah pecah.
Suara sirine terdengar. Dengan segera, Kak
Gama, salah satu petugas UKS, menggendong Lyu. Ia berjalan dengan cepat ke luar
sekolah. Banyak anak yang tertarik melihat hal itu, yang menimbulkan banyak
gosip dengan cara menerka-nerka.
Kalana diajak ikut bersama Kak Gama untuk
menemani Lyu. Mereka berdua masuk ke dalam mobil, duduk di kursi dalam mobil
ambulan. Terlihat Kak Gama dan petugas ambulan memeriksa luka Lyu. Samar-samar terdengar
bahwa ada pecahan beling kecil di kepalanya.
***
Kalana menunggu di depan ruang UGD bersama Kak Gama. Kalana
melihat banyak darah yang hampir kering di seragamnya.
"Kamu berteman dengannya ‘kan, Kalana?"
tanyanya.
Kalana mengangguk sebagai jawaban sambil menatap
ke arah koridor rumah sakit yang terlihat sepi. Kalana hampir menangis, lagi.
"Dia menjauhiku akhir-akhir ini.
Namun aku tidak tahu alasannya apa," ujarnya.
"Kamu selalu saja membuat masalah,"
lontar Gama.
Kalana menunduk. Ia tak menyangkal, hal ini mungkin
benar-benar salahnya. Ia merasa aneh karena ia tidak dirundung selama dua
bulan. Ternyata, mereka telah menemukan sesuatu yang lebih menarik, yaitu
Lyu.
Pintu UGD terbuka. Kalana dan Gama
berdiri bersamaan, menunggu berita yang pasti. Sesaat terdengar ada langkah
kaki yang terdengar sedang berlari. Terlihat seorang pria dengan wajah panik. Ia
berbicara pada perawat yang datang bersamanya. Pria itu berbicara menggunakan
Mandarin. Kalana tidak mengerti apa yang dia ucapkan.
"Kurasa itu ayahnya," ujar Gama
pelan.
Pria itu menatap ke arah Kalana dan Gama.
Untuk sekilas, Kalana seperti melihat tatapan Lyu. Kalana membungkuk, diikuti
Gama.
"Kalian boleh pulang.
Aku akan menjaga anakku," ujarnya.
Kalana ingin menolak. Namun,
Gama telihat mengucapkan salam dan
melangkah pergi. Kalana merasa tidak ada pilihan lain. Kalana mengikuti Gama,
melangkah menuju pintu keluar. Dengan setengah hati, Kalana mencoba tenang.
Kalana memilih berjalan
menyusuri jalan untuk pulang ke rumah. Ia melihat gores jingga yang telah
mewarnai cakrawala. Kalana berdoa dalam hati, semoga Lyu baik-baik saja.
***
Setelah hari itu, Kalana memutuskan untuk datang ke Rumah
Sakit besok sorenya. Sebelumnya, ia telah mampir ke toko buah untuk membeli
beberapa buah. Kalana mendekati letak tempat administrasi. Kalana menanyakan di
mana letak pasien bernama Lyu Yi-Fan.
Salah satu perawat di sana
berbicara, bahwa Lyu telah diajak pergi oleh keluarganya. Pergi kembali, ke
China. Kalana terdiam. Mengucapkan terima kasih dan mengambil langkah untuk
kembali pulang.
Sejak hari itu, selama tujuh
tahun, Kalana tak pernah melihat Lyu lagi. Lyu menghilang, seolah keberadaannya
tak pernah ada.
***
Banyak hari yang telah Kalana lewatkan. Namun, ia tak
pernah lupa pada Lyu. Kalana melihat seruan ombak. Ia menyimpan tangannya pada
pagar besi yang membatasi area laut. Kalana memilih untuk melangkah pergi, saat
melihat notif dari handphone miliknya.
***
Kalana melihat seorang gadis berdiri di depannya dengan
senyuman selembut awan. Kalana merasa dadanya berdesir dan jantungnya berdetak
lebih cepat. Pandangannya mulai kabur karena air mata yang memaksa jatuh.
"Kamu bohong. Katanya
mau sekolah di sini hingga enam bulan, namun baru saja empat bulan, kamu sudah
pergi." Hanya kalimat itu yang mampu ia lontarkan.
Gadis itu mendekat, memeluknya
dengan erat. Kalana merasakan parfumnya. Kalana tahu ia adalah Lyu, Lyu yang
t'lah lama hilang dari hidupnya.
Air mata Kalana tumpah tanpa
dapat dicegah. Samar-samar Kalana mendengar Lyu berbisik mengucap kata apa
kabar dan maaf.
Lyu melepaskan pelukannya. Ia
juga ikut menangis.
"Aku tidur lamaaa banget
dan sisa waktunya aku pakai untuk belajar berjalan. Saat bangun, aku hampir
tidak tahu caranya berjalan," ujar Lyu.
Kalana tak menjawab, sibuk
dengan air mata. Kalana ingin melontarkan banyak kata namun lidahnya seakan kelu. Banyak kata tak sempat ia ucapkan.
Siang itu adalah hari yang
akan terus ia ingat. Teman sekaligus sahabatnya telah berpulang.
***
Stop bullying!!!
0 comments:
Post a Comment