18 October 2025

Aku adalah Pelangi

Edit Posted by with No comments

 Penulis: Muslimah

Kelas: 9D

"Wah hujan." Ririn bergegas menuju kursi di mana saudara kembarnya berada.

    "Reno Reno!!" Ririn duduk di sebelah saudara nya itu sambil menatapnya. Reno yang menyadari hal itu menatap kembali Ririn. Ririn hanya tersenyum sambil mengedip-ngedipkan matanya.

   "Ada apa Ririn?" Reno bertanya cukup lembut kepada saudaranya itu, karena jika ia naikkan sedikit saja nada bicaranya maka Ririn akan kesal lalu menangis. Ririn memang anak yang cengeng, manja dan juga nakal, namun ia sangat penurut kepada kakaknya.

  "Reno ayo main hujan-hujanan mumpung sekarang sedang hujan!" Ririn turun dari kursinya lalu mulai melompat-lompat sambil menunjuk keluar jendela. Ia memasang wajah imutnya untuk membujuk saudaranya agar ikut bermain hujan bersamanya.

  "Reno ayolah ayolah. Aku mohon...." Reno tidak bisa berkata-kata lagi ia hanya mengangguk kepada Ririn.

   "Wahhhh... yeyy...asikkk kita bermain hujann!!" Ririn melompat-lompat kegirangan dengan jawaban kakaknya. Kemudian ia menarik tangan kakanya untuk meminta izin kepada ibu agar bisa bermain hujan.

    "Ibu... Ibuuu Ririn akan bermain hujan-hujanan yaaa...." Ririn tersenyum tak henti. Tangannya masih menggenggam erat tangan kakaknya. Setelah ibu memberikan izin, Ririn berlari keluar sambil tertawa. Reno ikut tertawa.

Mereka berdua kini bermain hujan-hujanann bersama.

 "Reno kemarilah... duduk disini di sebelah Ririn." Ririn menepuk-nepuk tempat disebelahnya. "Coba berbaring seperti ini agar hujannya terasa di wajah. Ini menyenangkan...hihihi...," ujar Ririn sambil tertawa tanpa henti

   Reno mengikuti apa yang adiknya itu suruh. Setelah agak lama bermain, hujanpun mulai reda. 

  "Reno tahu tidak?" 

  "Tahu soal apa?" 

   Ririn tersenyum lalu melihat langit yang mulai terang.

   "Ririn pengen deh jadi pelangi," ujar Ririn sembari menatap kakaknya dengan senyuman di wajahnya.

 "Kenapa Ririn pengen jadi pelangi?" Reno bertanya.

   "Karena Ririn ingin membawa kebahagiaan untuk orang yang sedang bersedih. Jika hujan reda, selalu ada pelangi sampai semua orang yang sedang bermain hujan melihat kagum dan tersenyum. Mereka bahkan bisa lupa kalau mereka sedang bermain hujan saat melihat pelangi itu. Sama halnya dengan Ririn. Ririn ingin membawa kebahagiaan jika orang di sekitar Ririn sedang sedih agar rasa sedih mereka terlupakan. Apa Reno mengerti?" Ririn berbaring di rerumputan itu sambil memejamkan mata.


 "Iya, Reno mengerti," ujar Reno.


   Ririn tak tahu bahwa dirinya sudah menjadi pelangi di keluarganya. Dengan adanya Ririn, keluarga mereka tak pernah sepi. Itu yang selama ini Reno rasakan. Mereka memang saudara kembar tapi Reno merasa Ririn adalah orang spesial yang dikirim oleh tuhan untuk dirinya dan keluarganya yang harus mereka jaga

Setangkai Bunga

Edit Posted by with No comments

 Penulis: Balqis Aurelita Rahmat

Kelas: 7J

  Di sebuah taman, aku melihat beberapa remaja berpasangan. Mereka membuatku iri dengan keromantisan mereka.

 "Membuatku kesal saja!" ucapku sambil mengepalkan tangan

"Andai saja kekasihku masih hidup, pasti kami akan menjadi pasangan paling romantis!" ucapku dengan nada sombong. 


Akupun berjalan dengan kesal. Saat sedang berjalan, aku tidak sengaja menabrak seseorang. 

"Maafkan aku. Aku tidak sengaja!" ucapku dengan perasaan bersalah.   

   Bukannya marah, orang yang kutabrak malah tertawa.

   "Hai...apa kabar, Sayang?" ucapnya sambil menyodorkan setangkai bunga.

     "K...kamu..?" ucapku terkejut. Tiba-tiba seluruh badanku gemetar. Betapa tidak!Kekasihku berdiri di depanku. Tapi, bukannya aku ikut mengantar jenazahnya ke kuburan 2 minggu yang lalu? Lalu, siapa yang berada di hadapanku sekarang?

17 October 2025

Krisan untuk Diriku Sendiri

Edit Posted by with No comments

Penulis: Ilmira Ramadhani

Kelas: 7J

   Di suatu sore, aku sedang berjalan-jalan setelah pulang dari sekolah. Rambut panjangku yang terurai tertiup angin. Aku berjalan santai sambil memperhatikan barang-barang yang berjejer di toko-toko di pinggir jalan. Aku berhenti sejenak saat melihat toko bunga. Kakiku tiba-tiba melangkah ke arah toko itu. Saat aku masuk, hidungku mencium aroma wangi dari berbagai bunga.

   Aku melangkah mencari bunga yang menarik. Langkahku terhenti ketika melihat bunga krisan berwarna putih dan kuning. Entah mengapa aku merasa tertarik pada bunga krisan itu. Padahal, menurut informasi, bunga krisan berwarna putih dan kuning melambangkan kabar duka cita. Setelah mengambil bunga, aku pergi ke kasir untuk membayar. Setelah membayar, aku langsung keluar dari toko. Aku kembali melangkahkan kakiku dengan pikiran kosong.

  Saat sedang berjalan, aku bertemu teman-teman sekelasku yang sedang asik berbincang. Aku menyapa mereka ramah. Tetapi tak satupun dari mereka membalas sapaan dariku. Aku berpikir, mungkin mereka sedang marah padaku ataupun tak melihat aku. Dari arah belakang, terdengar suara ramai. Aku membalikkan badan. Benar saja, orang-orang terlihat ramai sambil mengerumuni sesuatu di tengah jalan. Aku melangkah cepat menghampiri kerumunan itu. Betapa terkejutnya aku. Di sana, tubuhku tergeletak tak bernyawa dengan darah segar mengalir dari pelipis. Badanku gemetar karena terkejut. Aku melihat tanganku mulai memudar dan lama-kelamaan menghilang seperti debu tertiup angin. Ternyata, sore ini aku tewas tertabrak mobil saat akan menyebrang.

Jeritan dalam Hujan

Edit Posted by with No comments

Penulis: Dhiya Silmi 

Kelas: 9H


Arulla terbangun di pagi hari. Ia terbangun karena suara hujan yang begitu deras. Ia menarik nafas dalam-dalam sembari melihat ke halaman depan rumahnya yang basah oleh hujan. Rumah yang begitu sunyi. Dan suara hujan terus turun tanpa henti.


Ia kemudian pergi keluar kamar dan hanya duduk di sofa ruang tamu sembari menonton televisi. Tayangan televisi menunjukan sebuah berita orang-orang yang menghilang begitu saja.


"Ck! Berita ini lagi." Kesalnya sembari mematikan televisi.


Di tengah malam, Arulla pergi keluar dari rumahnya tanpa memakai payung ataupun jas hujan. Padahal malam itu hujan belum berhenti. Semua orang menatapnya aneh.


"Hei, anak muda! Kenapa kamu berani keluar malam-malam sendirian?," ucap seorang pria asing yang mengikutinya dari belakang.


Arulla tidak mendengarkan, ia tetap berjalan tanpa peduli perkataan pria asing itu.


"Kamu mengabaikanku? Dasar wanita aneh," pria asing itu mendorong kepala Arulla dengan kasar.


Arulla terlihat kesal, tapi ia tetap berjalan. Pukul 2 malam, Arulla kembali ke rumahnya dengan membawa sebuah koper besar. Ia membawa koper itu ke dalam rumah dengan hati-hati. Keringat membasahi kening Arulla, ia terus membawa koper besar itu dengan terengah-engah. Lalu ia meletakkan koper itu di ruangan rahasianya.


Saat dibuka, ternyata itu adalah pria asing tadi. Tubuhnya terbaring paksa di dalam koper. Tangannya terikat. Mulutnya ditutupi kain. Nafasnya terengah-engah. Arulla membuka kain yang menutupi mulut pria asing itu, mata pria asing itu langsung tertuju pada mata Arulla.


"Aku minta maaf. Tadi hanya bercanda," ucap pria asing itu sambil memohon.


Tetapi Arulla tidak peduli, koper itu ditutup kembali. Malam itu, Arulla tidur bersama suara hujan dan jeritan pria asing itu.

Untuk Ayah dan Ibu

Edit Posted by with No comments

Penulis: Dhiya Silmi

Kelas: 9H


Rumah berantakan. Pecahan piring berserakan di lantai. Suara bentakan memenuhi udara.


Ayah... Ibu... mengapa kalian harus berpisah? apakah kalian tidak saling mencintai lagi? ataukah kalian memang sudah tidak menginginkan anak ini?

sejak hari itu, kalian meninggalkan luka yang dalam di hatiku.


"Aku nggak tahan lagi hidup denganmu! kita cerai saja!"

Teriak ibu. Suaranya bergetar. Matanya berkaca-kaca.


Ayah membalas dengan nada yang sama, penuh amarah.


"Baik! Kita cerai saja! Jangan harap aku membawa anak ini!"

Lalu, ia pergi tanpa menoleh lagi.


Hatiku hancur. Seharusnya, di usiaku yang masih remaja, aku mendapatkan kasih sayang, bukan makian. Jika memang aku yang menghancurkan rumah tangga kalian, aku minta maaf. Aku ikhlas jika harus menghilang dari dunia ini.


Ayah, terkadang aku iri melihat anak-anak lain yang punya sosok ayah sebagai panutan dalam hidupnya.

Ibu, aku juga iri melihat anak-anak lain yang memiliki ibu penuh kasih sayang. Sedangkan aku? Hanya hidup sendiri di jalanan, tanpa siapa-siapa.


Ayah... Ibu.... Sungguh, aku sangat mencintai kalian. Tapi mengapa kalian membenciku? mengapa kalian tega menyebutku "anak bodoh"? tidakkah kalian sadar bahwa kata-kata sekecil itu telah menggores hatiku dan meninggalkan trauma dalam hidupku?


Saat anak-anak lain tertidur dengan elusan lembut di kepala dan kecupan di kening dari orang tua mereka, aku hanya bisa memeluk diriku sendiri di trotoar yang dingin. Saat mereka tertawa bahagia bersama keluarga, aku hanya bisa menangis dalam kesepian.


Aku selalu berharap memiliki keluarga yang harmonis dan bahagia. Tapi harapan itu kini terkubur dalam-dalam, karena aku tahu, itu tidak akan pernah menjadi kenyataan.

Sosok di Balik Cermin

Edit Posted by with No comments

Penulis: Siti sopiyah 

Kelas: 7j 


    Saat aku sedang duduk di depan meja rias, aku menyisir rambut panjangku yang hitam dan terurai. Rambut rontok banyak terlihat di sisir. Aku mengambil rambut rontokku lalu menggulungnya. Kemudian kutaruh di laci meja rias. 

   Aku melihat sekilas ke arah cermin. Terlihat sosok berambut panjang namun wujudnya tampak gelap. Aku menengok ke belakang untuk memastikan benar atau tidaknya penampakan sosok itu. Aku mengucek mataku. Tetapi tidak ada siapapun di belakangku. Aku berpikir, mungkin itu hanya halusinasi. Belakangan ini aku merasakan lelah yang berlebihan. Akupun melanjutkan kembali aktivitasku, membersihkan wajah sebelum beranjak tidur.

  Tiba - tiba saklar lampu mati. Aku tidak tahu penyebabnya. Kunyalakan senter dari ponsel untuk menerangi kamarku. Aku kembali menatap cermin. Betapa terkejutnya aku melihat bahwa sosok menyeramkan itu terlihat di sisiku. Tangannya mengusap rambut panjangku. Raut wajahnya mengerikan. Ia menyeringai. 

   Badanku kaku; mulutku seperti ditahan sesuatu; nafasku terengah-engah; bulu kudukku berdiri. Sosok itu menatap diriku dengan mata melotot dan bibirnya tertarik ke atas, menciptakan seringai mengerikan. Tiba-tiba dari cermin muncul cahaya hitam. Lama kelamaan cahaya itu makin membesar dan tubuhku tersedot ke dalam cahaya tersebut. Aku berteriak ketakutan.


     Tiba - tiba terdengar suara mama memanggilku. Aku membuka mata. Dengan nafas yang masih terengah-engah, aku melihat sekeliling kamarku. Ternyata tidak terjadi apa-apa. Syukurlah. Itu hanya mimpi buruk.

Titik Harapan

Edit Posted by with No comments

Penulis: Anisya Rahmadani 

Kelas: 9E


    Dari kecil hingga sekarang. Tiara rutin menjalani terapi psikologis terutama DBT (Dialectical Behavior Therapy). Sampai sekarang, ia masih tak menyangka bahwa ia mengidap penyakit BPD (Bordecine Personality Disorder). Karena itu, ia sering merasa takut secara berlebihan saat ditinggalkan, emosi tidak stabil, selalu melakukan sesuatu tanpa pikir panjang dan masih banyak lagi hal lainnya.


    "Aku capek, Dok! Sudah begitu lama aku bergantung pada obat-obatan," Keluh Tiara,


    "Tiara Sayang, Dokter yakin kamu bisa Sembuh. Jadi, Tiara harus berjuang lebih keras lagi agar tidak selalu bergantung pada obat," Dokter Ana menyemangati.


    "Tapi, mau sampai kapan, Dok?" tanya Tiara dengan menahan tangis.


    "Aku sudah melakukan berbagai cara tapi itu sama sekali tidak berpengaruh di hidupku," lanjut Tiara. Tak bisa dipungkiri ia sangat menginginkan hidup normal seperti orang lain. Namun, takdir berkata lain. Takdir mengatakan bahwa Tiara harus sanggup menanggung semua ini.


    Dokter Ana merasa terenyuh dengan keadaan Tiara. Ia membayangkan jika ia yang ada di posisi Tiara. Mendengar tangisan Tiara, ia tersentak dan kemudian menghampiri Tiara seraya menggenggam kedua tangannya.


    "Apa kamu sudah menerapkan tujuh kebiasaan anak Indonesia hebat?" tanya Dokter Ana dengan lembut,


    Tiara menggelengkan kepala dengan air mata yang masih terus berjatuhan.


    "Apa itu, Dok?'


    Dokter Ana pun tersenyum. Lalu ia membawa Tiara ke dalam pelukannya seraya mengusap pucuk kepala Tiara dengan penuh kasih sayang. Ia sudah menganggap Tiara layaknya anak kandungnya sendiri karena sudah lima belas tahun lamanya mereka bersama. Bahkan Dokter Ana melihat sendiri perkembangan Tiara dari kecil.


    "Tiara Sayang, tujuh kebiasaan anak Indonesia hebat itu yaitu bangun pagi, beribadah, berolahraga, makan sehat dan bergizi, gemar belajar, bermasyarakat dan tidur cepat. Perlu Tiara tahu juga bahwa semua itu sangat penting dan sangat berpengaruh untuk kesembuhan mental Tiara." ucap Dokter Ana memberitahu,


    "Apa hubungannya, Dok? Lagian yang sakit itu mental dan hatiku bukan jiwa dan ragaku, Dok," ucap Tiara tak percaya.


    "Aku sudah capek, Dok. Sudah begitu lama aku menjalani terapi ini. Pada akhirnya semuanya masih sama. Aku lelah. Sampai sekarang aku masih sering takut ditinggalkan, diabaikan, dan emosiku sering tidak stabil bahkan bisa meledak-ledak," lanjut Tiara bertubi-tubi. Ia sudah tak dapat menahan semua itu.


    Tenang, Tiara, tenang. Tarik nafas kamu lalu buang secara perlahan," ucap Dokter Ana dengan penuh kelembutan. Tiara Mengikuti instruksi Dokter Ana Seketika hatinya terasa lebih tenang.


    "Tiara, coba Tiara lakukan yang Dokter Ana sarankan tadi dan nanti Tiara akan tahu bahwa tujuh kebiasaan itu sangat berpengaruh untuk kesembuhan Tiara," ucap Dokter Ana,


    "Tapi, aku sudah terbiasa tidur Larut, Jarang bermasyarakat karena aku malas berbaur dan aku juga tidak suka olahraga di bidang apapun itu," 


    "Maka dari itu, Tiara harus belajar membiasakannya dari sekarang. Tidak Perlu tergesa-gesa karena hal yang besar pun dimulai dengan langkah yang kecil." Dokter Ana berusaha menyadarkan Tiara.


    Tiara terdiam. Mendengar ucapan Dokter Ana, ia mulai merenungi kebiasaan buruk yang sudah ia lakukan saama ini. Melihat Tiara terdiam, Dokter Ana pun tersenyum.


    "Jadi, berjanjilah sama Dokter bahwa Tiara akan menerapkan itu semua mulai dari sekarang, Sambung Dokter Ana seraya mengulurkan kelingkingnya.


    Tiara masih diam memandangi Dokter Ana dengan tatapan yang sulit diartikan. Tapi, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam ia mempercayai ucapan Dokter Ana karena selama ini Dokter Analah yang paling tahu kondisi kesehatannya. Tiara menarik napasnya dalam - dalam dan mengaitkan kelingking nyo pada jari Dokter Ana dengan tersenyum.


    "Janji?" tanya Dokter Ana,


    "Janji," balas Tiara dengan semangat.


    Setelah itu, Tiara pulang ke ruman dan menceritakan semuanya kepada keluarganya. Mereka mengangguk dan membenarkan apa yang Dokter Ana katakan, Sudah,


    "Yasudah sekarang kamu istirahat. Ini sudah hampir larut. Jangan lupa sholat dulu. Sekarang sudah telat satu jam untuk sholat isya padahal biasanya kamu suka sholat tepat waktu. Bunda dan Ayah sudah melaksanakannya dari tadi," ucap Ayah.


    "Jangan melawan kata-kata Dokter," lanjut Bunda,


    "Jangan begadang," tambah Bang Andra dengan tegas.


    Mendengar hal itu, Tiara mengangguk seraya tersenyum manis. la sangat bahagia tumbuh di lingkungan yang sangat mendukung dia dan sangat mengutamakannya lebih daripada apapun.


    "Iya, aku ke atas dulu. Good night semuanya." Tiara muangkahkan kakinya menuju tangga dan masuk kamar. Tak lupa ia menunaikan kewajibannya terlebih dahulu sebelum tidur.

        

                                        ***


    Satu bulan kemudian, ia kembali menemui Dokter Anu untuk diperiksa perkembangan kesehatannya. Ia sudah menerapkan apa yang Dokter Ana katakan waktu itu. Tak lupa juga ia ditemani oleh Bundanya tersayang. Sekarang, Tiara merasa Sudah lebih baik dari kemarin dan semuanya Juga sudah mulai terkendali.


     Hanya membutuhkan waktu sekitar lima belas menit untuk sampai ke rumah sakit. Sesampainya disana Tiara langsung diperiksa.


     "Wahh hebat! keadaan kamu sudah mulai membaik," ucap Dokter Ana,


     Keduanya mengembangkan senyumnya dan Tiara memeluk Bundanya dengan senang. 


     "Lalu, apa penyakit ini bisa sembuh, Dok?" tanya Bunda Tiara,


     "Maaf, Bu, penyakit ini tidak bisa sembuh secara total tetapi, ibu tenang saja karena ini bisa menjadi sangat membaik sehingga hampir tidak terasa lagi dan Tiara bisa kembali hidup normal, sehat dan stabil,"


     "Tidak apa-apa, Dok, yang penting Tiara sudah bisa hidup dengan semestinya saja itu sudah lebih dari cukup, terimakasih banyak," ucap Bunda Tiara dengan senyuman yang tak luntur, 


     "Sama-sama, itu sudah menjadi bagian dari tugas saya, apalagi Tiara sudah saya anggap anak saya sendiri," ucap Dokter Ana dengan tersenyum,



___



    Satu tahun kemudian, kondisi Tiara sudah sangat membaik dan ia bisa tumbuh dan hidup menjadi anak yang berprestasi untuk bangsa dan negara. Ia juga menjadi sangat aktif di berbagai bidang. Bahkan, ia memenangkan berbagai ajang lomba dan ia suka berorganisasi.


    Sejak itu, ia yakin bahwa tujuh kebiasaan anak Indonesia hebat sangat berpengaruh besar untuk perkembangan anak-anak seusianya. Meskipun tidak kembali seperti semula. setidaknya, sekarang ia sudah kembali hidup normal seperti semestinya sudah lebih dari cukup dan ia sangat bersyukur. Tak lupa juga ia sangat berterimakasih kepada Dokter Ana, Bunda, Ayah, Bang Andra, dan semua keluarganya. Karena, berkat dukungan mereka ia bisa mencapai titik ini dan hari yang ia nantikan sepanjang hidupnya.