Asri Fajriani
9D
Dia masih saja tidak berhenti menduduki ayunan itu di taman. Dia masih saja terpaku dengan mata terbelalak yang tak pernah dia kedipkan lagi. Padahal, hari sudah mau sore dan mendung. Tidak menutup kemungkinan bahwa hujan akan menghiasi seluruh alam ini.
Ingin sekali kubawa dia pulang. Memasakkannya makanan dan menyeduhkannya susu hangat seperti dulu. Sayangnya, kakiku seperti terpaku tanpa bisa bergerak.
Semua itu terjadi semenjak adikku menyelamatkanku dari bom si Bangsat dan ia meninggal. Namun yang membuatku heran adalah tangannya. Ia tetap berada di atas paha, tanpa menyentuh ayunan. Tapi mainan itu tetap berayun seolah ia memainkannya.
“Ayo pulang, Nak. Mulai gerimis. Ikhlaskan kepergian adikmu. Ayah yakin dia sudah tenang.”
Sial, Ayah datang menjemput.
Lalu dia pun pergi.
Aku sering sekali melihat adikku di taman. Tapi, aku belum siuman.
**
0 comments:
Post a Comment