Nayla Ameera
Sudah
hampir 8 tahun lamanya aku tak bertemu dengannya. Namun hari ini, ia berjanji
akan datang. Rasanya bahagia sekali. Sudah berjam-jam aku duduk di luar untuk
menanti kehadirannya yang tak kunjung datang. Aku sempat cemas, apa mungkin
rencananya ke sini akan gagal lagi seperti tahun-tahun sebelumnya? Pasti akan
sangat menyesakkan sekali bila itu terjadi lagi.
Aku lelah menunggunya. Akhirnya aku memutuskan untuk masuk
ke dalam rumah. Mungkin memang ia tak jadi ke sini. Jikapun itu terjadi lagi, aku
sudah biasa. Aku memasuki kamar, dan menatap sebuah pigura yang di dalamnya
terdapat foto aku dengannya sekitar 9 tahun lalu. Mataku berkaca-kaca.
Tok...tok...tok...
Ketukan pintu itu berhasil memecahkan lamunanku. Aku
mengusap mataku, takut kalau saja aku tak sengaja menangis. Aku keluar kamar,
lalu membukakan pintu. Mataku membulat sempurna. Seolah tak percaya melihat
orang yang berada di hadapanku saat ini. Tepat hari ini, hari pertama aku
menatap wajahnya secara nyata, setelah bertahun-tahun lamanya aku hanya menatap
wajahnya lewat media sosial saja.
Ia tersenyum kepadaku. Tentu aku membalas senyumannya, lalu
mempersilakannya untuk masuk ke dalam.
“Kamu sudah besar, ya,” ucapnya yang disertai dengan
kekehan kecil.
Aku tersenyum malu. Rasanya canggung sekali. Lalu aku
mencium tangan lembutnya.
“Bagaimana perjalanannya, Kak?” aku berusaha memulai
percakapan.
“Lancar. Tapi, ya, begitu, ada macet macetnya.”
“Pasti melelahkan. Kakak istirahat saja di kamar.”
“Kamu tidak rindu pada kakakmu ini, Nadine?”
Apa ini? Jantungku berdetak kencang sekali. Dia kakakku,
tapi aku rasanya asing sekali. Tapi bohong jika aku tak merasa bahagia. Bohong
jika aku mengatakan bahwa aku tak rindu.
Aku mendekat ke arah Nayyara, aku memeluknya. Lalu aku
menangis dalam pelukannya yang begitu hangat.
“Aku merindukanmu, Kak, sangat rindu. Tidak ada adik yang
merasa baik-baik saja jika jauh dari kakaknya, bahkan sampai hampir 8 tahun tak
bertemu.” Aku mengeratkan pelukannya.
“Maafkan aku Nadine, tolong maafkan aku.”
Nayyara membalas pelukanku. Ia tak menangis namun suaranya
tak dapat berbohong bahwa ia juga merasakan hal yang sama. Ia melepaskan
pelukanku lalu mengecup keningku. Rasanya seperti mimpi. Hari ini hari pertama
aku mendapatkan perhatian manisnya lagi setelah bertahun-tahun lamanya tak
kurasakan.
“Kakak akan lama di sini, kan?” aku menatapnya penuh harap.
Wajah Nayyara berubah menjadi sendu. Ia menunduk.
“Maafkan Kakak. Besok Kakak harus kembali.”
Apa? Cepat sekali.
Rasanya sedih sekali mendengar hal itu. Namun, aku tetap
bahagia. Setidaknya hari ini aku bisa menghabiskan waktu bersamanya. Waktu yang
hilang selama 8 tahun ini.
Aku tersenyum. “Tidak perlu meminta maaf. Menatap wajah
kakak saja sudah benar-benar membuatku bahagia.”
Nayyara memegang tanganku dan mengusapnya lembut. Hari ini,
hari pertama Nayyara memegang tanganku setelah bertahun-tahun lamanya aku tak
pernah merasakan sentuhan lembutnya.
Aku berbincang hangat dengannya, tentang segala hal. Aku
bercerita panjang sekali, ia pun sama. Hari ini begitu indah. Hari yang sudah
lama sekali aku nantikan
Tak terasa, hari mulai malam. Waktunya istirahat. Aku
membiarkannya tidur di kamarnya yang sudah lama kosong. Sementara aku kembali
ke kamarku. Aku masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Berkali-kali aku
mencubit pipiku, mengetes apakah ini mimpi atau nyata. Tapi ini nyata. Rasa
syukur tak berhenti aku ucapkan. Kali ini semesta benar-benar sedang berpihak
padaku.
Aku tidur, dengan senyuman yang tak pernah lepas dari
wajahku. Aku sangat bahagia hari ini. Bahkan mungkin sampai esok pagi, senyuman
ini takkan pernah pudar. Kenyataan ini begitu indah, lebih indah dari mimpiku
selama ini. Aku memejamkan mata, bersiap untuk pergi ke alam bawah sadarku.
***
Hari
telah pagi. Aku bangun dengan perasaan yang masih berbunga-bunga namun tak
sebahagia kemarin. Jika kemarin aku bahagia karena kehadirannya, kali ini
rasanya bahagia itu perlahan memudar karena
hari ini ia akan pulang.
Aku membuka pintu kamarku dan berjalan ke arah kamarnya.
Aku melihat ia tengah bersiap untuk pulang. Kebahagiaan itu cepat sekali
perginya.
Kami sarapan bersama. Setelah itu kami berbincang-bincang
sebentar. Aku tak dapat menahan air mata yang jatuh saat ia berdiri, bersiap
untuk pergi.
“Kak, tolong, kali ini jangan pergi terlalu lama. Aku tak
sanggup. Aku tak sanggup kalau harus menahan rindu selama itu lagi.”
Nayyara memelukku.
“Tunggu aku, Nadine. Aku pasti kembali. Aku berjanji tak
akan selama itu.”
Nayyara lalu melangkahkan kakinya, jauh dan semakin
menjauh. Ia benar-benar pergi. Hari yang istimewa itu sudah selesai. Pertemuan
yang sudah lama sekali aku nantikan sudah usai. Tinggal aku yang dirundung
rindu yang teramat sangat.
Tuhan, semoga Engkau pertemukan lagi aku dengannya.***
0 comments:
Post a Comment