28 February 2024

Dijemput Waktu

Edit Posted by with No comments

 Asri Fajriani

9D

Dia masih saja tidak berhenti menduduki ayunan itu di taman. Dia masih saja terpaku dengan mata terbelalak yang tak pernah dia kedipkan lagi. Padahal, hari sudah mau sore dan mendung. Tidak menutup kemungkinan bahwa hujan akan menghiasi seluruh alam ini.

Ingin sekali kubawa dia pulang. Memasakkannya makanan dan menyeduhkannya susu hangat seperti dulu. Sayangnya, kakiku seperti terpaku tanpa bisa bergerak.

Semua itu terjadi semenjak adikku menyelamatkanku dari bom si Bangsat dan ia meninggal. Namun yang membuatku heran adalah tangannya. Ia tetap berada di atas paha, tanpa menyentuh ayunan. Tapi mainan itu tetap berayun seolah ia memainkannya.

“Ayo pulang, Nak. Mulai gerimis. Ikhlaskan kepergian adikmu. Ayah yakin dia sudah tenang.”

Sial, Ayah datang menjemput.

Lalu dia pun pergi.

Aku sering sekali melihat adikku di taman. Tapi, aku belum siuman.

**

Demi Cintaku

Edit Posted by with No comments

 Asri Fajriani

9D

Pagi ini, Ashraf bangun dengan semangat yang menggebu-gebu karena hari ini adalah hari dimana ia akan bertanding sepak bola dengan SMP sebelah. Ashraf sangat bahagia bisa mewakili sekolah bersama teman-temannya.

"Bu,Ashraf berangkat dulu. Do'akan Ashraf supaya menang, yaa." teriak Ashraf sembari mengenakan sepatu.

"Tentu saja ibu do'akan, Nak. Hati² di jalan, ya," jawab sang ibu.

Ashraf pun berlari menuju ke sekolah. Di tepi jalan, tiba-tiba, "braaak!..." Ashraf tidak sengaja menyenggol batu dan terjatuh karena saking semangatnya. Kakinya terlukanamun, ia tak hiraukan. ia bergegas bangun dan menepuk-nepuk bagian tubuhnya yang kotor.

 Sesampainya di sekolah, ia lagsung pergi ke lapangan olahraga. Di sana, terlihat teman-nya yang sudah siap bertanding. Ashraf pun menurunkan tas yang ada di pundaknya dan menyimpannya di pinggir lapangan, lalu menghampiri mereka. Mereka tersenyum pada Ashraf. Namun, senyuman kedua sahabat Ashraf memudar ketika melihat bekas luka yang ada di lutut Ashraf.

"Raf, kenapa 'tuh kakimu? Kok berdarah?" tanya Abiel.

"Ooh, ini? Tadi aku terjatuh saat berlari menuju ke sekolah di jalan, hehe...." Jawab Ashraf tersenyum malu.

"Sepertinya, kau terlalu bersemangat untuk menang, ya, Raf?" Yoga ikut bicara sambil membawakan alkohol dan obat merah untuk mengobati luka yang ada di lutut Ashraf.

                Beberapa menit kemudian, pertandingan dimulai. Ketika bertanding, saat Ashraf hendak berlari mengambil bola dari lawan, tiba-tiba kakinya terasa sakit yang kemudian membuatnya terjatuh. Namun, ia tidak menyerah. Sampai akhirnya, "Gooooool!" tim Ashraf memenangkan pertandingan dengan skor 3-2.

"Yeay, gol! Kalian memang hebat," teriak Pak Jazlan sambil menghampiri dan memeluk anak-anak didiknya di tengah lapangan.

Ini merupakan kemenangan pertama mereka. Pasalnya, sebelum ada Ashraf, sekolah ini belum pernah memenangkan satu pertandingan sepak bola sekalipun. Jadi, sejauh ini, Ashraf adalah pemain terbaik. Mereka pun melanjutkan ke pertandingan selanjutnya. Mereka memenangkan setiap pertandingan.

 Singkat cerita, Ashraf tumbuh menjadi atlet sepakbola yang hebat. Di suatu pertandingan antara negara Indonesia dan Malaysia, seperti biasa tim Ashraf memenangkannya. Pelatih dari Malaysia kagum dengan kemampuan yang dimiliki Ashraf. Ia tertarik dan berkeinginan untuk merekrut Ashraf untuk main di timnya dan betanding di negara Malaysia.

Pelatih itu pun menghampiri Ashraf yang sedang duduk di samping lapangan sambil meminum air.

"Saya nampak awak memang pandai bermain tadi."

"Terimakasih, Pak," ujar Ashraf sopan sembari membungkuk dan menganggukkan kepala.

"Bagaimana jika awak bermain dalam pasukan saya? Ekhemm... Jangan risau, awak takkan balik dengan tangan kosong," ucap pelatih itu meyakinkan.

Ashraf berfikir sejenak. Lalu Yoga dan Abiel menghampiri.

“Terima saja tawaran itu, Raf. Bayangkan, kau bisa mendapatkan apapun yang kau mau," ucap mereka.

"Entah kenapa aku merasakan keputusan yang berbeda. Mulut mereka berkata demikian, namun kelopak mata Yoga dan Abiel menampakkan hati yang berpaling," batin Ashraf.

"Tapi...," kata Ashraf. Belum sempat Ashraf melanjutkan kata-katanya, pelatih itu sudah memotong.

"Apa sahaja yang awak mahu, kami akan berikan," pelatih itu menegaskan.

Setelah berfikir cukup lama, Ashraf menetapkan pendiriannya bahwa ia mencintai tanah air lebih dari apapun.

"Maaf, Pak. Bukannya saya tidak mau, tapi saya ingin berjuang untuk negara saya sendiri. Saya yakin, Bapak akan mendapatkan pemain yang lebih baik dari saya di Malaysia," Ashraf menolak dengan sopan.

Pelatih itu pun meninggalkan Ashraf, Yoga, dan Abiel dengan wajah yang kecewa. Senyuman Yoga dan Abiel kian merekah.

"Huft... Aku pikir kau akan menerimanya," ucap Abiel khawatir.

"Iya. Dia tahu kami adalah sahabatmu. Jadi, kami disuruh untuk membujukmu. Dia pikir, kau akan mau jika kami juga mendukung," kata Yoga sambil merangkul pundak Ashraf.

Ashraf tersenyum.

"Tentu saja aku tidak akan mau. Kita sudah bersahabat sejak lama. Jadi, aku tahu sekali jika kalian berbohong. Dengar, ya. Aku lebih memilih menjadi pemuda yang berjiwa patriotisme dan bernasionalisme daripada menjadi atlet yang profesionalisme untuk bangsa lain. Aku ingin membanggakan ibu dengan memakai kaos tim dengan bendera merah putih di dadaku," jawab Ashraf.

***

 

Tiang Negara

Edit Posted by with No comments

Dea Mustika

Ex. 9I


Kharakter khalayak ‘tlah terbangun

Sebagai bathera tuk hadap langsung pada hidup

Tumbuh hingga kritis jua bijaksana

Tangguh pun turut ikut serta

 

Jati diri, kau tuntun perihal kehidupan

Tuai latar budaya serta kearifan local

Satu tuju dan pikir tuk bela negara

Harap insan tumbuh dalam kesadaran

 

Mendidik tuk jadi insan ideal

Tercipta dalam moral yang mulia

Berkembang dalam rasa dan karsa

Terbinanya watak kehidupan

 

Mencegah nilai buruk sebab norma-norma

‘Tuk menuju negara satu jua bermartabat

Jangan biar teladan sulit tuk ditemu

Supaya pilar-pilar tak luntur terlantar