Dea Mustika, Ex. 9I
https://id.pinterest.com/pin/794111346768138753/
Gadis itu menyalakan korek api, membakar sumbu lilin aroma terapi yang beberapa minggu ini selalu ia ganti dengan rutin. Tidak ada alasan khusus dari kegiatannya, hanya sekedar mencoba menghilangkan bau dari obat-obatan yang sebenarnya sudah menjadi ciri khas dari rumah sakit.
Iris berwarna abu-abu miliknya menelisik seisi ruangan. Ruangan tersebut menjadi saksi bahwa hampir selama hidupnya ia akan menghabiskan waktu di dipan rumah sakit, bertarung dengan kanker darah yang sudah mencapai stadium akhir.
Arunala tidak menyesal karena terlahir di dunia. Ia bersyukur diberi kesempatan untuk bisa bernapas, menghirup udara, atau sekedar memperhatikan hujan di balik jendela. Ibunya juga sibuk. Jarang sekali ia menjenguk atau bertanya kabar walau hanya lewat aplikasi pesan yang ada di handphone.
Arunala memegang ujung rambutnya yang semakin tipis, menariknya pelan, membuat beberapa helai rambutnya berjatuhan ke atas selimut dengan mudah. Ia menghela napas pelan. Sepertinya ia harus mencukur rambutnya.
“Jangan menariknya, La.”
Arunala mengalihkan atensi, melirik pria yang berdiri di ujung ruangan yang menatapnya dengan penuh iba.
Namanya Rin. Ia telah menjadi teman Arunala sejak kecil. Arunala hanya sekedar tahu nama dan umurnya. Saat ditanya data diri yang lain, Rin hanya akan menjawab bahwa ia sudah lupa.
“Rin, kira-kira berapa lama lagi aku hidup?”
Rin tidak menjawab. Ia masih diam di sana, memperhatikan Arunala yang terlihat rapuh. Kakinya beranjak, mendekat ke bangsal, kemudian duduk di kursi dekat Arunala.
“Entahlah, aku yakin kamu bisa hidup lebih lama. Buktinya sampai sekarang kamu masih hidup walau sudah berkali-kali bertanya hal yang sama dari tahun ke tahun."
Arunala ingin mempercayai kalimat itu. Namun, seiring berjalannya waktu, penyakit yang ia derita tak kunjung membaik. Masa kecilnya ia habiskan dengan bolak-balik menginap di rumah sakit, pemeriksaan rutin, terapi, dan lainnya. Membuatnya hampir tidak memiliki teman satupun. Teman-temannya di rumah sakit satu persatu mulai kembali karena sembuh, tapi dirinya masih di sini. Terbelenggu di atas garis takdir antara hidup dan mati.
“Kamu itu orang aneh ya, Rin. Selalu muncul tiba-tiba. Dulu, saat aku melamun di taman rumah sakit, kamu juga tiba-tiba datang dan mengajakku berteman.”
Rin hanya tersenyum getir. Tangannya terulur mengambil sebuah potongan apel di atas nakas lalu memakannya. "Kamu juga aneh. Bisa-bisanya mau mengobrol denganku."
Arunala tertawa pelan. “Aku mau jalan-jalan keluar, Rin. Kamu bisa membantuku?"
Rin mengangguk. Ia mengulurkan tangan, membantu Arunala turun dari dipan, menuntunnya menuju pintu keluar hingga Arunala merasa bahwa ia sudah cukup sanggup untuk berjalan sendirian. Sementara Rin kembali ke dalam ruangan, membawa jaket yang di tersimpan di dalam laci. Kemudian kembali menghampiri Arunala yang menunggu di depan ruangan.
Cuaca cerah hari itu. Arunala merasakan hangat dari pancaran sinar matahari saat ia baru saja keluar menuju taman rumah sakit. Ia berjalan menghampiri bangku di tengah taman, berniat duduk di sana. Di sana telah duduk seseorang. Arunala melirik ke arah orang itu. Dia seorang gadis, terlihat sedikit lebih tua darinya. Kedua tangannya penuh perban, iris matanya yang berwarna hazel terlihat redup, memandang lurus dengan tatapan kosong. Seolah tak ada semangat yang memancar dari hidupnya.
“Kau tidak nyaman aku duduk disini?"
Arunala tersentak ia dengan cepat menggelengkan kepala. “Tidak, tidak. Aku nyaman-nyaman saja," ujarnya dengan nada panik.
“Orang-orang di sini memang aneh.”
Kalimat itu menarik atensi Arunala, membuatnya menatap gadis itu. “Siapa namamu?” tanyanya.
Dia melirik Arunala. “Sheya,” balasnya singkat.
Arunala tersenyum tipis. “Aku Arunala. Kalau dia namanya Rin.” Arunala menunjuk ke arah Rin yang sedari tadi hanya diam memperhatikan.
Sheya mengangkat alisnya, melihat ke arah yang ditunjuk Arunala. Mencoba melihat apa yang ia perkenalkan.
“Di sana kan kosong.”
Arunala tersentak. Ia hanya tersenyum kikuk, membuat Sheya lagi-lagi merasa bahwa anak ini lebih aneh dari hidupnya.
“Sudah berapa lama kamu tinggal di sini?” Arunala berusaha mengalihkan topik.
“Dua hari yang lalu.”
Arunala mengangguk paham. “Aku terkena kanker darah. Kalau kamu kenapa?”
Sheya terlihat berpikir. “Nadiku hampir putus.”
Arunala menoleh kaget ke arah Sheya. Ia kehabisan kata-kata sekaligus merasa bingung harus membalas perkataan Sheya dengan kalimat apa.
“Aku memotongnya. Tidak usah merasa bingung.” Sheya tiba-tiba melanjutkan kalimatnya. Ekspresinya terlihat tenang, seolah itu bukan hal yang besar.
Rin yang sedari tadi diam, mengerutkan dahi. Ia ikut tertarik pada obrolan mereka berdua. Kemudian ia duduk di samping Arunala, membuat Arunala bergeser lebih ke tengah.
“Kenapa kamu melakukan hal itu itu?" nada suara Arunala terdengar sangat hati-hati, was-was bila sekiranya ternyata itu pertanyaan sensitif bagi Sheya.
“Tubuhku ini tidak berguna. Orang tuaku terus-terusan bertengkar hebat hanya karena uang. Aku hanya menambah beban mereka dalam pengeluaran rumah tangga. Aku juga tidak punya bakat. Aku dijauhi teman-temanku di sekolah, entah apa alasannya. Ibuku menyuruhku mati setiap waktu. Ayah sering memarahiku karena katanya hidupku ini hanya semakin menambah beban mereka.”
Arunala mendengar kata demi kata yang dilontarkan Sheya. Ia menatap Sheya yang dengan mudahnya menceritakan kisah hidupnya yang terdengar menyayat hati.
“Rumah sakit itu tempat yang jelek. Kemarin sore aku mendengar suara tangisan penuh pilu di ruangan sebelah kanan, tapi aku juga mendengar tangisan penuh tawa bahagia di ruangan sebelah kiri. Aku bisa melihat banyak orang mati-matian bertahan hidup walau dengan tubuh mereka yang tidak sehat ataupun sekarat. Sementara aku sibuk mencoba membunuh diri karena merasa tidak sanggup lagi untuk melanjutkan hidup.” Sheya terlihat marah. Tangannya meremat celana yang ia kenakan.
“Manusia itu tidak punya kehendak untuk memilih takdirnya. Kita sama-sama terbelenggu pada satu garis takdir yang sama. Memperjuangkan kewarasan saat hidup sudah tak lagi terasa berguna, mati-matian menahan diri untuk tetap bernafas walau rasanya sakit setengah mati. Perihal kamu ingin mati itu bohong. Kamu ingin hidup dengan lebih layak. Namun takdir lebih suka bermain-main.”
Sheya tak lagi menjawab. Ia menatap lurus ke arah langit yang menjadi berawan. Mereka sama-sama diam selama hampir sepuluh menit, hingga rintik hujan tiba-tiba jatuh menyapa kulit mereka.
Sheya berdiri. “Aku duluan, ya. Terima kasih sudah menemaniku.”
Arunala melambaikan tangan ke arah Sheya yang semakin menjauh dari pandangannya. Akhirnya ia ikut beranjak dari sana, berniat kembali ke ruangannya.
“Rin, kamu itu sepertinya awet bicara sekali, ya.”
Rin melirik Arunala, ia tidak menjawab. Atensinya ia alihkan kembali ke lorong rumah sakit yang sepi. Hampir tidak ada orang berkeliaran seperti biasanya.
“Kurasa kamu harus mencari teman baru yang lebih nyata,” ujar Rin tiba-tiba.
Arunala menghentikan Langkah. Ia menoleh ke arah Rin, membuat Rin ikut menghentikan langkah. Arunala menyipitkan mata. “Apa maksudmu?”
“Cari teman baru.”
“Jangan bercanda, Rin. Aku takut. Seharusnya kamu tahu. Dulu aku juga punya teman. Tapi mereka tidak pernah datang walau hanya sekedar untuk menjengukku. Mereka semua melupakan dan meninggalkanku, termasuk Ibuku. Bahkan ia tidak menanyakan kabar anaknya membaik atau memburuk."
“Tapi, kalau kamu terus berbicara denganku, kamu harus—"
“Sudah cukup. Aku tidak ingin berdebat denganmu. Kepalaku sudah terasa pusing," potong Arunala.
Arunala beranjak dari sana, meninggalkan Rin yang masih terdiam mencerna perkataan Arunala. Iris matanya memandang Arunala dengan sedih, seolah banyak kata yang tertahan hingga berakhirnya di pendam.
***
Kendati hujan masih belum berhenti, tetapi setidaknya langit sudah tidak mendung. Cahaya perlahan muncul dari sela-sela awan. Hujan tidak sederas dua jam lalu. Pupil Arunala melebar. Ia sedari tadi diam memandang hujan dari balik jendela. Matanya menatap ke arah langit. Ada pelangi di sana, terbentang lebar menghiasi langit yang masih terhias hujan.
Ini pertama kalinya Arunala melihat Pelangi. Saat kecil ia hanya bisa melihatnya di buku dongeng. Bentang pelangi itu terlihat indah. Lebih indah dari yang ada di buku gambar favorit dia saat berumur 5 tahun. Dari dulu dia selalu banyak berdiam diri di kamarnya, tidak pernah ikut sekolah umum, dan jarang keluar karena stamina tubuh yang sangat buruk. Ibunya rutin mengirim buku baru sebagai hadiah, hingga banyak buku cerita bergambar yang masuk dalam koleksi bukunya.
Namun ibu tidak tahu betapa kesepiannya Arunala kala itu. Dulu orang tuanya pulang seminggu sekali untuk mengajak Arunala bermain. Tapi, semenjak Ayahnya dikabarkan meninggal karena kecelakaan, ibunya hanya pulang sebulan sekali karena sibuk bekerja di luar kota. Bahkan, kadang tidak pulang sama sekali hingga bulan selanjutnya.
Arunala tidak memiliki teman ataupun peliharaan. Ia hanya tinggal berdua bersama pembantu di rumahnya. Lima bulan lalu, pembantunya mengundurkan diri karena suaminya sudah mempunyai pekerjaan tetap.
“Lihat apa, Nala?”
Atensi Arunala teralih. Ia membalikkan badan, melihat suster Kinan berdiri di depan pintu. Arunala tidak menghampirinya, hanya menoleh sembari tersenyum tipis.
“Ada apa, kak Kinan? Kan aku sudah diperiksa sudah sama suster yang lain tadi.”
Dia menggeleng pelan. “Aku hanya ingin memberitahu bahwa ibumu akan datang malam ini.”
Arunala terdiam. Ini kali kedua Ibunya datang menjenguknya selama tiga bulan ini. Arunala mengangguk sebagai jawaban, kemudian kembali menatap ke arah jendela. Kemudian terdengar suara pintu yang tertutup, tanda bahwa suster itu sudah pergi dari ruangannya.
Pelanginya sudah hilang. Arunala menghela napas, bergerak naik ke atas dipan, mencari posisi nyaman, menarik selimut hingga ke leher lalu menutup mata. Ia menunggu gelap atau bunga tidur menjemputnya.
***
Arunala mengerjapkan mata, merasa silau dengan lampu terang yang berada di atasnya. Ia menguap pelan, menggerakan badannya yang terasa pegal. Terdengar suara ketikan laptop yang mengisi ruangan itu, membuat Arunala menelisik sekitar ruangan. Di kursi ujung ruangan ada ibunya, sibuk bekerja dengan laptop ditemani tiga kaleng soda yang sepertinya sudah habis.
“Bagaimana keadaanmu, Aruna?” Dia tidak menatap Arunala, masih sibuk dengan laptop di depannya.
“Baik, Ibu. Sejak kapan Ibu ada di sini?" Kesadaran Arunala belum sepenuhnya pulih. Ia masih merasa pusing, pandangannya juga masih temaram.
“Sejak dua jam yang lalu.”
Arunala melirik jam dinding, melihat waktu yang hampir menyentuh pukul sepuluh malam. Ia tidur hampir 7 jam.
“Apakah tidak masalah? Kelihatannya Ibu sibuk. Aku baik-baik saja bahkan jika aku sendirian, Ibu bisa datang lagi saat Ibu merasa lebih senggang,” ujar Arunala dengan ragu.
Ibunya melirik Arunala. Tangannya membetulkan kacamatanya yang mulai melonggar. “Kamu mengusir ibu?”
Arunala menepuk dahinya, “Bukan begitu. Lupakan saja. Ibu sudah makan?”
Ibu Arunala menutup laptop. Ia mengangkat plastik makanan.
“Ibu baru saja memesan makanan. Kamu mau? Ini favoritmu.”
Arunala memandang makanan itu dengan berbinar. Sudah lama ia tidak memakan makanan lain selain masakan yang di sajikan rumah sakit. Arunala mengangguk antusias sebagai jawaban. Ibunya tertawa melihat putrinya, sudah lama sekali ia tidak melihat putrinya terlihat sesenang itu.
Makanan itu adalah ayam goreng. Ibunya memberikan bungkus ayam goreng ke pangkuan Arunala. Lalu ia duduk di samping Arunala, memperhatikan Arunala yang semakin terlihat kurus dan pucat.
“Ibu melihat banyak bekas tisu yang berwarna merah di tong sampah. Itu milikmu?”
Arunala mengangguk. “Tadi siang aku sempat mimisan dan batuk darah, tapi itu bukan masalah besar. Tenang saja Ibu, aku pasti sembuh. Kalau aku tidak ada kan, tidak ada yang mewarisi harta Ibu," ujar Arunala sembari tertawa.
Ibunya hanya menggelengkan kepala. Anaknya memang susah ditebak. Setidaknya, melihat anaknya bisa tertawa seperti ini, membuatnya merasa lebih tenang.
“Di sini ada memar baru?" Ibu menunjuk siku Arunala dan menyentuhnya dengan hati-hati.
“Oh itu tidak sengaja mengenai meja, tapi tidak sakit.”
“Lebih berhati-hati Arunala. Ibu teringat kamu saat kecil, tubuhmu hampir dipenuhi memar karena terjatuh."
Arunala tertawa. “Aku bukan anak kecil lagi, Ibu!”
Mereka menghabiskan waktu dengan bercanda dan mengobrol, hingga makanan Arunala habis. Ibunya mengecek jam di jam tangannya. Ia mengelus kepala Arunala. Sudah hampir jam dua belas malam.
“Ibu harus pulang. Ibu langsung datang ke sini saat sampai di kota. Ibu harus membereskan rumah karena bi Dara sudah tidak bekerja di rumah lagi. Ibu harap kamu mengerti."
Arunala mengangguk, ia tersenyum tipis mendengar Ibunya, "hati-hati di jalan, Ibu."
"Jaga diri selagi Ibu sibuk, Arunala pasti sembuh, Ibu yakin anak Ibu kuat."
Dia mengecup dahi Arunala, kemudian berjalan menjauh menuju pintu keluar. Tangannya melambai, garis senyum di wajahnya tertarik membentuk senyum yang sudah lama Arunala rindukan. Arunala ikut melambaikan tangan dengan ceria, lalu pintu itu tertutup.
Dan seluruh pertahanan Arunala yang sudah ia tahan sejak tadi, runtuh. Air matanya jatuh, dadanya sedari tadi terasa sesak, suara isakan tangisannya ia tahan setengah mati. Hingga sebuah tangan mengusap punggungnya.
Arunala melirik sang pelaku, ada Rin disana. Duduk di samping ranjang, menatap Arunala dengan senyum tipis. Hingga membuat pertahanan Arunala luruh sepenuhnya, isakan tangisnya sudah tak lagi ia tahan, segala keluhannya ia ungkapkan dalam tangisan yang sedari tadi ia tahan. Rin tidak bersuara, ia hanya diam membiarkan Arunala yang terisak sembari menarik ujung bajunya. Diam-diam Rin menyimpan rasa iba yang besar, tangannya ia gunakan untuk menarik Arunala ke dalam dekapannya, membiarkan bajunya basah karena air mata.
Hampir dua jam hingga tangisan itu reda dengan sendirinya. Tergantikan oleh hembusan nafas yang teratur.
***
"Sheya!"
Gadis yang dipanggil menoleh, ia menatap bingung ke arah Arunala yang berlari ke arahnya.
"Kamu sudah mau pulang?" tanya Arunala.
Sheya mengangguk, ia mengangkat tasnya, "sudah seminggu aku di sini. Lagian aku sudah baik-baik saja. Setelah dari sini aku akan pulang ke rumah nenekku."
Aruna mengangguk mengerti, "syukurlah. Kuharap kamu lebih bahagia disana. Oh iya, aku ada sesuatu untukmu."
Aruna memberikan kalung perak dengan bandul berbentuk kupu-kupu berwarna biru gelap. Sheya mengangkat alis, bingung dengan maksud Arunala.
"Jangan lupakan aku, ya!"
"Tanpa kamu memberi ini pun, aku pasti tidak akan melupakanmu."
"Sudahlah, terima saja Sheya! Kemarin aku kesusahan tahu, aku sampai memaksa izin untuk pergi keluar!"
Sheya tertawa kecil mendengar nada Arunala, ia menerima kalung itu, dan memakainya di depan Arunala.
"Gimana nih? Cocok ngga?"
Arunala mengangguk ceria, ia mengacungkan jempol ke arah Sheya, "ternyata benar, kalung itu akan sangat cocok denganmu, Shey!"
"Terimakasih, aku sangat menyukainya. Tapi sepertinya aku sudah dijemput, jaga diri baik-baik ya, Arunala. Aku akan menjengukmu kapan-kapan." Sheya berjalan mendekati perempuan yang menunggunya di dekat parkiran, dia melambaikan tangan ke arah Arunala, membuat Arunala tersenyum senang.
Mobil itu berangkat, dan mulai hilang dari pandangan Arunala.
"Pulang lagi," gumam Arunala.
Ia kembali berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Sialnya, tubuhnya mendadak merasa lelah, ia mengusap hidungnya saat merasakan sesuatu mengalir dari sana.
"Ah, berdarah." Dengan cepat Arunala menghapus jejak darah itu sembari menutup hidungnya, namun tiba-tiba kakinya terasa berat, hingga gelap perlahan menghampirinya. Suara orang-orang samar-samar terdengar panik. Pendengaran Arunala seperti teredam air. Tak lama, suara-suara itu ikut hilang bersama kesadaran Arunala.
***
Arunala membuka pandangannya, dia merasakan seseorang menggenggam tangannya. Arunala terbatuk karena merasa tenggorokannya sangat kering.
"Arunala, kamu sudah bangun?" Suara Rin.
Arunala mencoba untuk duduk, tangannya ia gunakan, untuk menjadi tumpuan, Rin dengan sigap membantunya untuk duduk. Lalu dia menyodorkan gelas ke arah Arunala, menawarinya minum. Dengan segera Arunala menerimanya, meneguk air tawar itu hingga habis.
"Syukurlah kamu bangun. Haruskah ku pencet tombol ini?" tanya Rin sembari menunjuk tombol yang bisa memanggil dokter.
Arunala menggeleng sebagai jawaban, ia masih merasa lelah dan pusing, setidaknya dia ingin waktu untuk mencerna situasi.
"Ini sudah pagi Rin?" tanya Arunala dengan nada serak.
Rin mengangguk, "lebih tepatnya sudah pagi ke-lima sejak kau pingsan di depan rumah sakit.
Arunala memasang wajah terkejut, " aku pingsan selama lima hari?!"
"Iya."
Arunala menepuk dahinya, "kalau begitu pencet tombol itu. Setidaknya aku harus tahu bahwa tidak ada yang salah dengan tubuhku."
Rin menurut. Tak lama hingga dokter datang di antar oleh suster Kinan.
Mereka berbincang sebentar, sembari mengecek kondisi Arunala.
"Kamu harus lebih hati-hati. Kondisimu berbahaya."
Kalimat singkat itu mampu membuat Arunala terdiam, ia hanya tersenyum tipis. Kegiatan ini tidak berlangsung lama, hingga dokter dan suster itu pergi dari ruangan. Meninggalkan Arunala yang masih bingung mencerna situasi.
Tapi satu hal yang sudah ia pastikan, umur hidupnya tidak lama lagi sampai ia mati.
"La, kudengar disini akan ada acara. Seperti acara penghormatan karena beberapa anggota militer yang mati ataupun sekarat."
"Loh, kok mereka bisa terluka? Memangnya ada perang? Di tahun modern seperti ini?"
Rin mengangkat bahu tak acuh, "Ada negara yang menyerang kita, aku tidak tahu apa yang dilakukan oleh negara ini hingga bisa menjadi konflik yang besar. Tapi katanya itu hanya ancaman, jadi bukan masalah besar. Ada juga yang bilang konfliknya sudah selesai."
Arunala berdehem, ia mengangguk mengerti pada penjelasan Rin. Lalu menatap Rin dengan senyum polos sembari tertawa kecil, "Rin, aku lapar."
Rin menggelengkan kepala, ia mengambil handphone milik Arunala untuk memesan makanan. Dengan modal searching 'makanan orang sakit.'
"Rin, saat kita bertemu, kamu sudah sebesar ini, bahkan umurmu masih sama, kan? Kenapa umurmu tidak bertambah? Parasmu juga tidak berubah. Kamu masih sama sejak kita bertemu 9 tahun lalu."
Rin berdehem, "aku juga tidak tahu."
Arunala menghela napas, ia sudah menebak jawaban itu. Jadi dia tak kembali membalas ucapan Rin.
"Rupanya Arunala masih belum sadar," gumam Rin dengan nada suara yang sangat pelan.
***
Hari sudah menjelang sore, tadi siang rumah sakit sangat berisik karena di penuhi oleh orang-orang. Ini sudah hampir dua minggu sejak Arunala bangun dari pingsan, dan hari ini adalah acara penghormatan. Arunala mendesis sebal seharian karena ada banyak anak-anak berteriak kegirangan hanya karena tentara yang berjajar rapih di depan rumah sakit. Ia menghela napas lega saat acara itu selesai. Suasana yang tentram telah kembali.
Hari ini Arunala sudah mimisan empat kali, membuat beberapa suster mengkhawatirkan keadaannya. Arunala merasa sangat lemah.
Arunala melirik keluar jendela, menyaksikan langit berwarna jingga yang disebut senja. Ibunya belum kembali berkunjung, begitu juga dengan Sheya. Rin juga seharian ini tidak muncul. Arunala jadi merasa sangat kesepian.
Tiba-tiba lantai bergetar hebat, seperti ada gempa. Membuat Arunala berjalan ke arah pintu, memegang knop pintu dengan erat supaya tidak jatuh. Teriakan dan tangisan panik dari orang-orang membuat jantung Arunala berdesir hebat, ia khawatir, dan takut. Semua perasaannya tercampur. Namun tak lama getaran itu berhenti.
Alarm kebakaran tiba-tiba menyala, membuat kebisingan yang lebih hebat dari sebelumnya, Arunala membuka pintu keluar, ia melihat sekelompok orang berlarian menuju tangga darurat. Lorong ruangan itu sudah sepi, hanya tertinggal Arunala disana. Atau mungkin dengan beberapa orang yang tidak bisa beranjak dari bangsalnya, karena terdengar isakan dan teriakan minta tolong dari beberapa ruangan yang pintunya tertutup.
Tubuh Arunala sempoyongan, getaran itu kembali menyapa lantai rumah sakit disusul suara membentur yang sangat amat keras. Sisi kanan rumah sakit ini roboh, membuat Arunala bisa dengan leluasa melihat langit yang sudah mulai membiru.
Sialnya kali ini getarannya lebih hebat dari sebelumnya, di susul dengan suara dentuman yang sangat keras. Membuat Arunala takut setengah mati.
"Tuhan...ada apa ini...?" gumam Arunala.
Arunala menyentuh dinding. berjalan sembari menekan kedua tangannya ke dinding. Kedua kakinya kambuh, membuatnya lebih sulit untuk dibawa bergerak. Mulut Arunala tidak bisa diam, berkali-kali ia rapalkan doa sembari terus berjalan menuju tangga hingga ia berhasil mencapainya.
"Tuhan, tolong berpihak kepadaku," gumamnya.
Namun sepertinya dunia tidak mendukung. Suara runtuh dari bangunan itu semakin keras, hingga pertengahan anak tangga kaki Arunala terasa mati rasa sepenuhnya, telinganya berdenging hebat, hidungnya lagi-lagi mimisan, tubuhnya sudah tak memiliki tenaga, nafasnya terasa sangat sesak, jantungnya berdebar hebat. Setengah mati ia pertaruhkan kesadarannya. Ia memaksa kedua tangannya bergerak memukul kedua kakinya untuk memaksanya bergerak. Rin ada di bawah tangga, menatap Arunala dengan tatapan yang benar-benar iba.
"Rin! Tolong bantu aku!"
Rin menggeleng, "maaf, La." Suaranya serak dan bergetar.
"Rin..? Kenapa?" Tangisan Arunala pecah, ia benar-benar takut setengah mati. Ia tidak mau mati. Setidaknya biarkan dia mengobrol dengan Ibunya untuk terakhir kali. Arunala terbatuk, ia merasakan amis di lidahnya, itu darah. Darah dari hidungnya saja masih belum berhenti mengalir.
Arunala menggeleng kuat, pandangannya semakin temaram, "Rin! Kamu temanku kan?! RIN!"
Rin masih diam disana, "aku tidak bisa menyelamatkanmu, karena sedari awal, aku tidak ada di dunia ini."
Arunala menggeleng tidak mengerti, tangisannya semakin pecah saat merasakan tangannya jadi ikut mati rasa sepenuhnya. Ia berusaha turun dengan mendorong tubuhnya, nihil atap rumah sakit itu roboh tepat di atas Arunala. Gelap menyambut pandangan Arunala disusul dengan sakit yang menabrak seluruh badannya.
"Tuhan...sakit sekali...." gumamnya sebelum benar-benar kehilangan kesadaran.
***
Langit saat itu sangat cerah, suasananya sangat hangat. Bisa membuat siapapun merasa nyaman. Ada yang bilang suasana di seperti ini itu enaknya pergi keluar untuk berjalan-jalan dengan keluarga atau teman, menciptakan rasa bahagia karena langit juga sedang bahagia.
Gadis itu melangkah lebih dekat, menyimpan bunga di atas gundukan tanah yang masih baru.
"Apakah ini artinya langit bahagia atas kepergianmu?" gumamnya.
Surai hitam legamnya tertiup angin. Ia menarik napas panjang. Bahunya bergetar sejak ia menginjakan kaki di tempat ini, tempat dimana ia akan menjenguk Arunala untuk pertama kalinya.
"Bukan tempat ini. Bukankah aku sudah janji akan menjengukmu di rumah sakit? Kenapa kamu malah membawaku kesini?" Nada suaranya bergetar, seolah menahan tangis.
Suasana di sana sangat senyap, hanya tersisa gadis ini dengan sebuah makam baru yang bertuliskan Arunala.
Sheya menutup wajahnya dengan kedua tangannya, ia tertawa pelan disusul air mata yang mengalir tanpa bisa dibendung.
"Jahat, Arunala. Bukankah aku yang ingin mati? Kenapa malah kamu lebih dulu pergi?" Ia terisak, tangisannya terdengar lebih pilu dari suara ayam yang disembelih.
"Rin, imajinasi buatanmu itu, dia bahkan lenyap bersamamu." Sheya teringat pada Rin.
"Arunala, kuharap kamu lebih bahagia di surga."
Ocehan demi ocehan Sheya luapkan hingga langit berubah menjadi jingga. Sheya tidak pernah tahu, bahwa kehilangan seseorang akan menjadi sesakit ini. Bila ia bisa ke masa lalu, ia akan ke rumah sakit pada hari itu untuk membawa Arunala lari dari sana.
Sheya tahu, Arunala pasti mati. Walaupun penyebabnya bukan tertimbun reruntuhan. Tapi setidaknya, Sheya ingin Arunala mati dengan lebih menyenangkan.
Seperti semilir angin saat itu, Arunala seolah duduk disana, mendengarkan Sheya dengan seksama. Sembari sesekali tersenyum, ia tertawa kecil melihat Sheya yang terisak di depan makamnya. Setidaknya Sheya harus tahu kalau Arunala tidak merasa sakit lagi.
Dan dia sudah tidak butuh Rin lagi untuk menjadi temannya.
***
Sticky Notes:
• Rin hanya imajinasi buatan milik Arunala. Diciptakan tidak sengaja karena Arunala merasa sangat kesepian. Bisa dibilang ini penyakit mental. Arunala membuat Rin saat berumur 7 tahun.
• Arunala merasa Rin sangat berharga karena hanya Rin temannya yang masih ada menemaninya hingga saat ini.
• Rin tidak memiliki nama lengkap. Umurnya 16 tahun. Tubuhnya tinggi, sekitar 186cm.
• Semua perlakuan Rin hanyalah imajinasi Arunala semata, seperti misalnya, Rin mengambil potongan apel dari piring Arunala dan memakannya. Namun, bila dilihat dan dihitung kembali, jumlah apel sama sekali tidak berkurang. Semua perlakuan Rin juga hanya imajinasi semata. Bila dilihat orang lain, Arunala mengerjakan semuanya secara mandiri atau oleh Arunala sendiri.
• Arunala Home Schooling sejak kecil. Dan dia dirawat oleh perawat hingga berumur 13 tahun. Arunala mudah mendapat memar. Saat kecil ia sering terjatuh hingga terdapat banyak memar di sekujur tubuhnya.
• Ayah Arunala meninggal sejak Arunala berumur 6 tahun karena terlibat kecelakaan lalu lintas.
• Walau hanya bertemu sekali, Sheya dan Arunala sama sama berpikir bahwa pertemuan mereka sangat berarti.
• Rin tahu dan sadar bahwa dia hanya sekedar imajinasi milik Arunala.
• Arunala juga mengikuti terapi mental, sehingga Rin sangat khawatir padanya. Rin berharap Arunala menemukan teman baru, karena Rin tahu, kalau Arunala sembuh, dia akan lenyap.
• People come and go.
0 comments:
Post a Comment